Jika membaca berita tentang pariwisata Pulau Lombok, maka daerah Mandalika yang letaknya di sisi selatan pulau dan menghadap langsung ke Samudera Hindia ini bisa dikatakan sebagai anak emasnya. Dengan anugerah Tuhan berupa pantai pasir putih yang membentang sepanjang 16 kilometer dan kontur daerah yang berbukit-bukit, keeksotisan alamnya banyak dilirik oleh investor lokal maupun asing. Pemerintah pun turut serta ambil bagian membesarkan “anak emas” ini. Kunjungan Pak Jokowi ke sana pada pertengahan tahun 2015 lalu setidaknya memberikan dua statement menyegarkan yaitu target selesainya pembangunan Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dipercepat menjadi tahun 2020 dari rencana awal 2030 dan kucuran dana yang dijanjikan pemerintah sebesar 1,8 triliun untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, air bersih, pengolahan limbah dan pembebasan lahan.
Tujuannya, tentu saja agar tidak menyia-nyiakan investor-investor yang memang sudah banyak yang mengincar kawasan ini. Melihat ke belakang, penetapan Mandalika sebagai kawasan yang layak untuk dikembangkan di Lombok bukanlah hal baru. Sudah dari tahun 1987 kawasan ini ingin dikembangkan. Setelah beberapa tahun mangkrak karena krisis moneter dan berbagai alasan lainnya, pada tahun 2011 akhir, Pak SBY meresmikan dimulainya masterplan pembangunan (groundbreaking) kawasan Mandalika Resort. Namun lagi-lagi tidak begitu baik, sehingga groundbreaking harus dilakukan lagi di era Pak Jokowi. Mandalika Resort yang kini ditangani oleh perusahaan BUMN, ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation), ini akan menjadi kawasan terpadu yang elit, eksklusif dan bertaraf internasional. Seperti Nusa Dua di Bali yang sukses dikembangkan ITDC sebelumnya.
Namun, melihat grand design pembangunannya, saya merasakan akan adanya polemik tersendiri.
Mandalika Kini
Mandalika memang telah cantik dari lahir. Pantai Seger Kuta dengan pasir putihnya menyimpan cerita legenda tentang kecantikan seorang putri raja bernama Putri Mandalika yang juga berhati cantik. Pengorbanan jiwanya dengan menceburkan diri ke laut demi mencegah perang besar antar pangeran yang memperebutkan dirinya masih diperingati sampai sekarang lewat upacara Bau Nyale (menangkap cacing) di pantai itu. Cacing laut yang konon adalah rambut sang putri, dipercaya membawa kesuburan dan kesehatan. Upacara tradisional ini, kini dibalut sebagai festival wisata budaya tahunan di Lombok.
Yang paling menunjukkan arah pembangunan kawasan ini adalah sebagian besar fasilitas di sana yang diperuntukkan bagi wisatawan asing. Saya sempat menikmati malam minggu di Kuta. Sepanjang jalan, restoran, café, dan bar-bar dipenuhi oleh bule. Makanan “pinggiran” nyaris tak bersinar dan bergema. Di Jalan Pariwisata Pantai Kuta, saya rasa full segmennya adalah bule. Menu-menu asing, kebanyakan dari Eropa dan Amerika, menghiasi papan-papan di depan restoran.
Menu lokalnya tak banyak. Yang menarik perhatian saya adalah seafood segar yang dipajang di depan beberapa rumah makan. Harga memang tidak terlalu mengejutkan karena di papan menu rata-rata memasang harga. Namun, penghargaan pelayanan di “kawasan bule” selalu saja kurang menyenangkan bagi wisatawan lokal. Dan yang ini pastinya sangat subjektif, bahwa porsi makanan yang sedikit seringnya membuat pejalan seperti saya kecewa. Walau memang presentasi dan rasa makanannya cukup lumayan. Bule, saya yakin tidak akan kecewa, selain pelayanannya yang malam itu sangat lama.
Satu hal yang cukup mengganggu yaitu para bocah dan ibu-ibu penjaja pernak-pernik seperti gelang dan kain tenun. Bukan bermaksud menghakimi, namun cara mereka berjualan dengan membujuk calon pembeli hingga berlama-lama sangat membuat tidak nyaman. Suasana romantis dan remang-remang candle light dinner ala-ala bisa saja rusak karena sibuk menolak penjaja tersebut dengan kesabaran ekstra.
Bicara pantai dan panorama alamnya dalam konteks anugerah Tuhan, Pantai Seger Kuta saya beri poin 5 dari 5. Bukit hijau mengapit laut biru luas berombak. Pasir putih menghampar luas. Namun, sebagai tempat wisata, seperti kebanyakan pantai ramai lainnya, belum cukup baik tata kelolanya. Kotoran kuda, anjing-anjing jalanan, dan yang tak pernah habis, sampah, ikut menjadi “hiasan” yang tak seharusnya ada.
Kedua Bukit yang mengapit cekungan Pantai Kuta tampak indah. Di sisi Barat adalah Bukit Mandalika, dan di sisi timur adalah Bukit Merese. Karena Bukit Merese lebih dekat, saya memilih ke tempat yang berada di Pantai Tanjung Aan ini. Pantai Tanjung Aan terasa lebih sejuk karena berada di sekitar bukit. Airnya lebih tenang untuk nyebur. Pantai ini berjuluk pantai merica karena pasirnya yang besar-besar seperti biji merica. Dari atas Bukit Merese inilah, landscape Pantai Kuta terlihat indah. Menyatu dan membentang semaksimal pandangan mata. Bersih dan tentu instagramable. Bukit ini biasa dipakai menggembala kerbau. Dan di sana terdapat lonely tree. Pohon tunggal gersang yang jadi primadona spot foto. Di sini, mata dan lensa kamera dimanjakan.
Nelayan dan pasar ikan tentu jadi penopang ekonomi masyarakat selain bisnis pariwisata. Di Kuta sendiri, terdapat pasar nelayan yang saya yakin tidak masuk daftar kunjungan wisatawan. Terlihat kumuh. Siang itu sebelum pulang saya sempat berkunjung mencari tuna bakar yang ternyata malah banyak terdapat di sepanjang Jalan Raya Kuta.
Jika rencana pemerintah soal KEK terlaksana, tentu akan mengubah banyak sekali wajah Mandalika. Citra kawasan ini akan menjadi kawasan eksklusif dengan banyaknya resort dan hotel mewah, convention center bertaraf internasional, swalayan, taman-taman hijau privat, hingga lapangan golf. Bahkan kabarnya akan dibangun sirkuit formula satu juga.
Memang pembangunannya berorientasi pada kebudayaan lokal masyarakatnya, namun banyaknya modal dari investor-investor asing semakin akan meminggirkan peran penduduk lokal. Warga bisa jadi hanya akan menjadi pengrajin, namun harga jualnya berkali-kali lipat di tangan pengelola resort dan toko souvenir.
Segmen pengunjung pun perlahan akan bergeser. Dari yang tadinya anak-anak ABG sekitar dengan tujuan ber-selfie dengan kamera ponsel, wisatawan domestik pencari wisata murah, dan wisatawan asing yang mencari eksotisme tidak hanya dari alam tapi dari masyarakat lokal, menjadi wisatawan asing yang mencari kemewahan fasilitas di tengah kemewahan alam Mandalika.
Memang tak ada yang salah. Tujuan pembangunan adalah peningkatan ekonomi. Walaupun pembangunan selalu memunculkan pihak yang “diuntungkan” dan “dirugikan”. Asalkan kompensasi pihak yang diuntungkan pada yang dirugikan berlangsung seadil-adilnya, semua akan baik-baik saja. Bukan malah sebaliknya, teriakan pihak yang dirugikan tertutup gemerlap lampu-lampu kristal mahal, tawa renyah cadie-cadie golf, dan bising knalpot Rio Haryanto yang pasti berharap bisa berlaga di kandang sendiri suatu saat nanti. Sehingga semua hanya akan tampak baik-baik saja.
Jika filosofi pembangunannya adalah “menghidupkan” kembali pesona Sang Putri Mandlika, sebaiknya tidak setengah-setengah hanya dari pesona fisiknya saja. Keindahan hatinya untuk mengayomi semua masyarakat dengan mengorbankan nyawanya perlu diteladani juga sebagai spirit membangun dan mengelola anugerah keindahan alam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H