Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Lombok 02: Rinjani, Gunung yang Seolah Menceritakan Dirinya

5 Juni 2016   23:24 Diperbarui: 6 Juli 2016   20:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Anjani 3.726 MDPL (Dok. Pribadi)

We write to taste life twice, in the moment and in retrospect. Kita menulis untuk merasakan hidup dua kali, pada saat itu juga dan pada saat mengingatnya kembali (dalam tulisan kita).  Itulah kata seorang penulis wanita terkenal berkebangsaan Cuba kelahiran Perancis, Anais Nin. Secangkir kopi yang saya minum, seolah menjadi media yang menghubungkan ingatan saya pada secangkir kopi yang saya nikmati sejenak sebelum pendakian Gunung RInjani dimulai. Sebagian yang telah selesai berkemas, sambil menunggu sarapan yang rencananya akan di bungkus untuk makan siang, ikut bergabung di warung depan pintu pendakian jalur Sembalun.

Habis secangkir kopi dan beberapa batang rokok, pendakian segera dimulai. Rencananya untuk empat hari kedepan, tapi alam berkata lain dan mengharuskan kita masih bertahan di sana pada hari kelima. Langkah pertama dan ribuan langkah selajutnya kita mulai pada pukul 07.30 WITA. Pagi yang biru menyambut kita saat memasuki jalur pembukaan berupa padang rumput yang menghapar luas. Tanpa kabut dan pohon-pohon rindang yang menghalangi, horison yang luas dan cerah menyatu dengan bukit-bukit dan pegunungan hijau.

Semakin ramai para pendaki salip menyalip saat kami beristirahat sejenak. Memang melelahkan karena matahari yang semakin tinggi menjadi terik ditambah jalurnya yang tanpa pepohonan. Air menjadi boros. Melewati pos 1, yang ramai oleh pendaki dan porter-porter yang beristirahat, belum ada sumber air. Sumber air baru ada di pos 2, tapi keruh dan rasanya tidak terlalu baik. Jadi, jika membawa Nutrisari atau sejenisnya, ada baiknya dicampurkan saja. Tiba Di pos dua sudah lewat jam makan siang, bekal sarapan sudah habis sejak di pos satu. Di sana kami merasa menyesal karena tidak menggunakan porter. Bayangkan, turis-turis asing dan lokal yang memakai porter duduk nyaman menunggu hidangan datang. Ada mie goreng, ada juga nasi dengan lauk pauk dan sayuran lengkap yang membuat kita menelan ludah.

Horison yang Cerah. Menikmatinya sambil Istirahat (Dok. Pribadi)
Horison yang Cerah. Menikmatinya sambil Istirahat (Dok. Pribadi)
Perjalanan hari pertama yang direncanakan sampai camp base Plawangan Sembalun ternyata tidak tembus. Pukul 19.00 tiba di pos ekstra (pos setelah pos 3), cukup malam untuk mendaki Bukit Penyesalan menuju Plawangan Sembalun. Kami pun Bermalam, makan, dan istirahat untuk malam pertama berselimut hawa dingin Rinjani.

Ternyata benar, dengan beban full pack tanpa porter, untuk mencapai Plawangan Sembalun memakan waktu sekitar 5 jam. Tak banyak pemandangan, karena hanya penyesalan dan keluhan yang dirasa saat mendaki 7 bukit ini. Belum lagi air yang harus super hemat karena terbatas saat itu. Hingga tiba di Plawangan Sembalun, dan waktu yang belum terlalu sore membuat kita berpuas istirahat dan bersantai menikmati keindahan Rinjani yang mulai terlihat. Puncaknya, lerengnya, dan yang paling fenomenal Danau Segara Anak dengan Gunung Barujarinya menjadi pemandangan di setiap sisi tenda kami berdiri. Kabutnya, udaranya, dan sendunya lembayung di barat sana tak henti-hentinya mengundang decak kagum. Memanjakan mata, kamera, dan tubuh yang lelah. Sedikit turun menyusuri bukit akan banyak orang mengantri di dua sumber air yang jaraknya berdekatan. Sungguh segar rasanya membasuh wajah sore itu. Sedikit perih karena kulit sudah terbakar matahari selama dua hari. Behati-hati pada tanaman berduri di sekitar sana. Tanaman yang di jawa disebut “jancukan” ini menyebabkan sakit seperti disengat serangga jika terkena kulit.

Summit Attack

Istirahatlah yang nyaman dan jangan terlalu malam! Karena saat hari esok baru lewat satu menit, summit attack dengan track berbatu dan pasir biasanya dimulai. Jangan lupa memakai jaket karena angin dini hari begitu menusuk. Tanpa penghalang sedikitpun selain sesekali batu-batu besar untuk beristirahat dan berlindung dari angin. Sepatu trekking wajib dikenakan jika masih sayang dengan kaki kita.

Melelahkan. Diantara perjalanan yang sudah ditempuh, summit attack yang memakan waktu hingga 7 jam ini dirasa paling menguras tenaga. Namun semua terbayar di puncak Anjani yang sempit namun memukau indahnya. Di ketinggian 3.726 mdpl, seolah kita berada di kaki langit. Dari sinilah biru kehijauannya Danau Segara Anak terlihat jelas. Sangat indah. Elok menghiasi kecantikan Rinjani yang harus memang ditebus dengan tenaga ekstra.

Sore saat Berkabut di Plawangan Sembalun (Dok. Pribadi)
Sore saat Berkabut di Plawangan Sembalun (Dok. Pribadi)
Tuntas sudah satu pekerjaan utama di gunung, summit bersama dan kembali ke camp base untuk membayar lelah dan kantuk. Perjalanan masih belum selesai. Cerita Gunung Rinjani masih harus dilanjutkan dengan bermalam lagi di tepi Danau Segara Anak. Sejenak kita bercanda riang karena separuh beban terasa sudah hilang, sambil menunggu makan siang yang kesorean. Sedikit tenang karena malam ini perjalanan tidak selama hari sebelumnya, hanya 2 hingga 3 jam dari Plawangan Sembalun menuju Segara Anak.

Namun, lagi-lagi alam memang tidak bisa ditebak. Karena terlalu sore kita berjalan, maka baru separuh perjalanan menuruni bukit curam berbatu, hari sudah gelap. Senter mulai menyala masing-masing. Sayangnya, cahayanya tidak cukup baik digunakan untuk mengeksplorasi jalur. Hasilnya kita salah ambil jalur dan harus berputar jauh. Salah ambil jalur lagi di persimpangan membawa kita ke jalan buntu berjurang malam itu. Untung saja kewaspadaan, kecermatan, dan ketenangan cukup membuat kita tidak masuk ke jurang, yang kata tim SAR teman kami memang banyak kecelakaan di sana.

Berjalan rapat serombongan dan kemampuan menguasai kepanikan adalah kunci keselamatan kita menempuh lagi perjalanan 6 jam menuju danau. Memang rasanya selalu bertanya-tanya “kapan sampai?” dan “apa kita tidak nyasar lagi?”. Informasi 2 hingga 3 jam yang membuat semangat, sekarang membuat kita hanya bisa menjalani saja jalur yang ada. Sambil berharap memang jalurnya benar. Hingga akhirnya merasa lega saat mulai menemukan tenda dan danau. Itu pukul satu dini hari. Cita-cita makan ikan bakar dan bersantai di pinggir danau semua hilang saking lelahnya. Langsung kita bangun tenda dan tidur. Saya masih sempat memasak mie, karena lapar tak tertahankan. Lebih baik repot daripada sakit, karena keindahan memang akan menjadikan lelah kita hilang, tapi tidak akan bisa dinikmati saat kita sakit. Jadi, selain keselamatan, kesehatan fisik dan mental juga wajib dijaga selama mendaki.

Puncak Anjani 3.726 MDPL (Dok. Pribadi)
Puncak Anjani 3.726 MDPL (Dok. Pribadi)
Cerita ini belum usai. Keindahan Danau Segara Anak dan Barujari di tengahnya masih akan kita nikmati esok hari. Belum lagi cerita jalur turun yang tak kalah memanjakan mata. Rinjani sejauh perjalanan memberi cerita pendakian yang luar biasa. Tak hanya keindahan, tapi keragaman jalur dengan kesulitan masing-masing seolah menyuruh kita untuk menceritakan kembali hal itu pada orang-orang setelah kita turun nanti.

Bersambung …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun