Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Baduy, Keterbukaan Sekaligus Ketertutupannya

31 Maret 2016   22:37 Diperbarui: 31 Maret 2016   23:08 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari beranjak malam dan hujan. Saya pun menikmati jamuan makan malam sederhana dengan ikan asin dan hanya bercahaya lampu minyak. Malam terasa begitu damai di Baduy.

Baduy Dalam

Kesimpulan saya benar, karena tidak ada listrik, maka semakin berjalan ke arah Baduy Dalam modernitas semakin berkurang dan hilang. Setelah naik turun bukit, melewati hutan dan perkebunan, menyeberangi sungai lewat jembatan bambu, ketenangan semakin terasa. Sunyi. Sesekali melewati perkampungan yang hanya terdiri dari beberapa rumah bambu dan Leuit (lumbung padi orang Baduy). Tampak sepi. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang sedang menenun di teras rumah.

Untuk menuju Baduy Dalam diwajibkan memakai pemandu. Karena selain jalannya yang rumit dan rawan tersesat, di Baduy Dalam ada adat yang harus dan wajib dijaga. Di sana dilarang menggunakan alat-alat elektronik seperti ponsel. Membawa boleh, tapi menggunakan dilarang. Itulah adat isolasi yang menjadi ciri orang Baduy Dalam.

Secara umum masyarakat Baduy dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu dikenal sebagai Baduy Dalam yang sekarang ada di tiga kampung di wilayah Kanekes, yaitu di Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Tangtu diketuai oleh seorang Pu’un sebagai ketua adat. Panamping adalah orang-orang Baduy Luar. Sedangkan dangka adalah warga Baduy yang tinggal di luar wilayah Kanekes.

[caption caption="Sawah Hijau di Baduy (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Hari itu saya dipandu oleh menantu Pak Syarif untuk menuju dan bermalam di Baduy Dalam. Selain menjaga adat, dia juga akan membantu mencari tempat menginap. Karena bagi saya, pasti akan rikuh bercakap banyak dengan warga Baduy Dalam yang berbahasa Sunda dialek Sunda Banten. Perjalanan dengan berjalan kaki ditempuh cukup lama, sekitar 2 jam kami baru tiba di Baduy Dalam, kampung Cikeusik. Semua ponsel kami matikan dan simpan dalam tas. Gemericik air sungai terasa sangat segar. Seolah agenda wajib, saya diminta mencoba mandi di sana. Segar sekali bertelanjang di tengah aliran sungai yang bersih, jernih. Di sana kami juga tidak diperbolehkan menggunakan bahan kimia untuk mandi karena akan mencemari air.

Di Baduy Dalam, sedikit akan kita dapati warna-warna cerah selain dari pakaian pengunjung. Selain pelarangan menggunakan ponsel, adat di sana juga menjadikan pengunjung tidak dapat mengambil gambar dengan kamera. Hal itu sebaiknya dipatuhi sebagai pengunjung yang tidak hanya sadar wisata, namun juga menghargai adat di sana. Malam yang cerah bertabur bintang sangat damai dinikmati dari luar rumah singgah saya. Sambil bercengkrama dengan teman atau sekedar memandang ke langit dan membiarkan ketenangan yang jarang didapat di kota merasuki jiwa kita. Damai dalam kesunyian. Benar memang, kearifan lokal pada alam memang bisa menjaga alam. Ada adat yang menjaga hakikat alam. Alam yang indah akan lestari jika warga sekitar dengan bijak merawat dan memanfaatkannya. Hanya demi kebutuhan sehari-hari. Bukan demi keserakahan.

Sedikit perjalanan ke Baduy membawa cerita dari keragaman suku di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Modernisasi di Baduy Luar dan adat Baduy Dalam yang masih terjaga mempunyai daya tarik tersendiri. Baduy Luar yang terbuka bagi siapa saja yang ingin tahu lebih dalam soal Baduy. Baduy Dalam yang tertutup namun memberikan ketenangan dan renungan tentang pentingnya menjaga alam dengan adat yang bijak, bukan dengan uang retribusi atau tiket masuk.

Suatu hari, kemelekan Baduy Luar pada dunia ditambah statusnya yang tetap sebagai suku Baduy malah akan menjadi pelestari Baduy sendiri. Termasuk menjaga stabilitas ekonomi dari alamnya. Kita semua tidak akan tahu, kapan keserakahan kita sebagai “orang kota” akan mengusik adat istiadat dan alam mereka. Jika hari itu tiba, maka hanya pengetahuan yang bisa melawan. Bukan senjata apalagi mantra-mantra leluhur. Asal tetap seimbang dan bijak dalam menyerap modernisasi kota yang kadang menyilaukan lantas membutakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun