Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiba Harinya Ketika TIM (Kembali) Terbelenggu

28 Februari 2016   10:25 Diperbarui: 29 Februari 2016   10:09 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Konferensi Pers dilakukan di Area Parkir TIM. Diisi dengan pembacaan kronologi, siaran pers, dan pernyataan sikap. (Dok. Pribadi)"][/caption]Secara de facto, salah satu hari itu adalah Sabtu 27 Februari 2016 diselenggarakan serangkaian acara mengenai hal yang paling sensitif di Indonesia. Tetapi sepertinya pihak penyelenggara harus sekali lagi menjadi “korban”. Acara yang akan diselenggarakan tersebut bertajuk Belok Kiri Festival atau Belok Kiri Fest. Rencananya, acara ini akan diisi dengan sejumlah diskusi, bedah buku, pertunjukan musik, pemutaran film, dan pameran seni rupa berupa komik. Tak ada yang aneh dari rangkaian acara yang semua bertujuan untuk edukasi, selain tema yang diusung yang kemudian memicu perselisihan. Sebagaimana judulnya, tema yang diangkat menyoal tentang dunia per-Kiri-an. Gerakan Kiri, yang dianggap telah mati bersama setengah jutaan simpatisan Komunis, hantunya masih saja ditakuti dan rawan memicu sensasi hingga kini. Bak cerita hantu turun temurun yang mengakar dari generasi ke generasi.

Beragam acara sejauh yang saya tangkap adalah ingin perlahan mengikis dogma yang telah tertanam dan membatu di hati sekian banyak generasi sepanjang 50 tahun sejak Geger 1965 terjadi. Menempatkan frasa “Gerakan Kiri” yang berarti “Gerakan Kritis” terhadap dehumanisasi dan segala bentuk ketidakadailan baik dilakukan pemerintah, aparat, maupun kapitalis. Terlihat dari semangatnya yaitu “Melawan Propaganda Orde Baru”. Rezim yang disebut berperan aktif dalam mematikan gerakan, referensi, dan pemikiran Kiri. Acara ini seharusnya dimulai dari tanggal 27 – 5 Maret dan berpusat di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Dibuka dengan peluncuran buka “Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula” dan diikuti acara lain seperti diskusi bertajuk Gerakan Sosial Baru, Militerisme untuk Pemula, dan Marxisme untuk Pemula.

TIM dan Perannya

Pemilihan lokasi dirasa tepat. Karena TIM adalah wahana kebudayaan, pemikiran, diskusi sehat, dan pencerdasan peradaban melalui karya-karya seni dan budaya. Seniman sekelas Teguh Karya, Affandi, dan Rendra ikut menyumbang material karya untuk membangun TIM. Kebebasan, apalagi pasca reformasi ketika semua orang bebas berkumpul, berdiskusi, dan mengeluarkan pendapat, sudah semestinya dihidupkan. Buah pikir dan diskusi yang manis soal kebangsaan dan apapun yang sesuai nurani seharunya bisa lahir dari gedung-gedung ini melalui kebebasan berekspresi. Kebebasan berpikir. Kebebasan dari segala tekanan yang menghambat pencerdasan masyarakat.

[caption caption="Proses negosiasiasi dan meminta klarifikasi atas pelarangan diadakannya konferensi pers di Galeri Cipta II. (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Namun, sejarahnya memang TIM tak lepas dari peristiwa pengekangan. Contohnya, dengan proses kurasi karya yang penuh sensor, perizinan yang setebal buku dosa manusia, dan intel serta provokator yang sering disusupkan di antara penonton, membuat Rendra pernah dilempari amoniak saat membaca puisi di sana pada tahun 1978. Belum lagi Teater Koma dan Guruh Sukarnoputra yang diwajibkan memiliki izin khusus untuk tampil di sana. Semua terjadi dalam 32 tahun rezim militer Orde Baru berkuasa. Seolah senimannya kerasukan hantu Kiri, segala karya yang “kekiri-kirian” harus dihentikan demi Pancasila agar tetap “sakti”. Masih belum puas. Buku-buku soal perjuangan yang dianggap bisa mengkirikan pikiran dimusnahkan dan dilarang terbit. Koran-koran pun dibredel. Belum lagi suntikan “pendidikan” anti-kiri melalui film mengerikan dengan dialog yang saya hafal, “Darah itu merah, Jendral!” dipertontonkan sebagai pembentuk karakter anak bangsa sejak sekolah dasar.

Kiri pada masa itu benar-benar dibasmi dan dicegah untuk hidup lagi. Hingga reformasi bergulir. Reformasi yang pastinya diinisiasi oleh kaum Kiri. Karena di sana ada mahasiswa, buruh, dan petani yang bersama melawan Orde Baru. Berpegang pada buku-buku semacam Aksi Massa, Tan Malaka atau Bumi Manusia, Pramoedya dan yang berhaluan Kiri lainnya. Mereka beraksi untuk memperjuangkan hak hidup sebagai manusia merdeka. Dan tentu saja demokrasi yang kita nikmati sekarang.

Paham Kiri mulai bisa muncul. Ditandai dengan buku-buku terlarang yang mulai dicetak ulang, bahkan penerbit yang jelas-jelas bernama Marjin Kiri didirikan pada tahun 2005. Tujuannya ya itu tadi, menggugat pelencengan sejarah karena kepentingan politis. Namun, faktanya, Kiri dan ekspresinya masih saja tabu dibicarakan secara terstruktur, masif dan sistematis.

Terjadi Lagi

Siang itu, setelah banner acara Belok Kiri Fest diturunkan oleh PKJ, ketegangan terjadi di halaman TIM saat sekelompok orang dari HMI berdemonstrasi menolak acara diadakan. Acara memang sudah batal dan hanya akan diadakan acara konferensi pers untuk menyatakan sikap atas pencekalan ekspresi. Dan lucunya, untuk menghadapi masa pendemo, dikerahkan beberapa mobil besar Brimob. Tak ketinggalan motor-motor trail yang dulu ditakuti mahasiswa pendemo. Tapi, alih-alih membubarkan massa, polisi dan pengelola malah membatalkan pula acara konferensi pers. Yang kemudian diadakan secara terbuka di area parkir TIM. 

[caption caption="Kelompok HMI berdemonstrasi meminta aparat dan pengelola membubarkan acara Belok Kiri Fest yang berbau Komunisme gaya baru. (Dok. Pribadi)"]

[/caption]

Ada tiga poin yang dirasakan oleh panitia terkait penolakan ini. Pertama, transparansi penggunaan Galeri Cipta II. Kedua, pingpong oleh aparat kepolisian dalam birokrasi perizinan yang bertolak belakang dengan semangat Pak Jokowi yang ingin birokrasi melesat secapat mobil Formula One. Ketiga, penolakan yang diikuti aksi demo oleh ormas-ormas yang takut Komunisme gaya baru lahir kembali. Intinya adalah, pembungkaman ekspresi terjadi lagi di TIM dengan soal yang nyaris sama. Karya-karya realis sosialis yang tumbuh dari Marxist.

Ego, saya rasa menjadi salah satu pemicu jalan buntu berbuntut pelarangan. Di sisi Kiri ada orang-orang yang mungkin merasa superior akan intelektualitasnya. Habis melahap buku dan memotret realita sosial. Berhasrat memecah kepongahan sejarah namun lupa bahwa batu karang sudah terbentuk melalui propaganda yang sukses besar. Di sisi Kanan, mereka merasa superior pada warisan kepercayaan. Lupa bahwa buku yang mereka baca sudah lapuk. Atau malah menelan dan mencerna mentah-mentah cerita hantu Komunis yang dicap pasti masuk neraka. Jika memungkinkan, diskusi antara yang pro dan kontra dengan hati sama-sama gembira bisa dicoba.

Tak berhenti hanya karena pembatalan pihak TIM oleh kewenangan dan kepentingan (dengan sedikit tindakan represi dan intimidasi di belakang layar. Siapa tahu?) acara Belok Kiri Fest tetap berlangsung. Tentu saja di tempat lain yaitu di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro. Semoga saja dengan mengambil prinsip entertainment mainstream, saat ada kontroversi maka seseorang semakin terkenal. Yang penting dengan semangat juang yang tinggi, Belok Kiri jalan terus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun