Ada tiga poin yang dirasakan oleh panitia terkait penolakan ini. Pertama, transparansi penggunaan Galeri Cipta II. Kedua, pingpong oleh aparat kepolisian dalam birokrasi perizinan yang bertolak belakang dengan semangat Pak Jokowi yang ingin birokrasi melesat secapat mobil Formula One. Ketiga, penolakan yang diikuti aksi demo oleh ormas-ormas yang takut Komunisme gaya baru lahir kembali. Intinya adalah, pembungkaman ekspresi terjadi lagi di TIM dengan soal yang nyaris sama. Karya-karya realis sosialis yang tumbuh dari Marxist.
Ego, saya rasa menjadi salah satu pemicu jalan buntu berbuntut pelarangan. Di sisi Kiri ada orang-orang yang mungkin merasa superior akan intelektualitasnya. Habis melahap buku dan memotret realita sosial. Berhasrat memecah kepongahan sejarah namun lupa bahwa batu karang sudah terbentuk melalui propaganda yang sukses besar. Di sisi Kanan, mereka merasa superior pada warisan kepercayaan. Lupa bahwa buku yang mereka baca sudah lapuk. Atau malah menelan dan mencerna mentah-mentah cerita hantu Komunis yang dicap pasti masuk neraka. Jika memungkinkan, diskusi antara yang pro dan kontra dengan hati sama-sama gembira bisa dicoba.
Tak berhenti hanya karena pembatalan pihak TIM oleh kewenangan dan kepentingan (dengan sedikit tindakan represi dan intimidasi di belakang layar. Siapa tahu?) acara Belok Kiri Fest tetap berlangsung. Tentu saja di tempat lain yaitu di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro. Semoga saja dengan mengambil prinsip entertainment mainstream, saat ada kontroversi maka seseorang semakin terkenal. Yang penting dengan semangat juang yang tinggi, Belok Kiri jalan terus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H