Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ibadah Kebudayaan, Pentas Terakhir Indonesia Kita 2015

29 November 2015   13:31 Diperbarui: 29 November 2015   13:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi nomor satu memang jadi tujuan banyak orang. Unggul dalam segala bidang dan menjadi orang yang “paling” adalah impian banyak orang. Paling pintar, paling kaya, hingga paling berkuasa. Ada yang sebatas impian dan angan-angan, namun tak sedikit yang berlomba-lomba menjadi nomor satu. Kompetisi. Sepertinya kata itu paling utama dalam kamus orang-orang yang ingin menjadi nomor satu.

[caption caption="Adegan di Depan Stambul Bintang Timoer"][/caption]

Di Jakarta, kota dengan sejuta impian yang tergantung di puncak gedung-gedung perkantoran ini, kompetisi terlihat dimana-mana. Di halte busway, di gerbong KRL, di jalan raya, hingga di dalam teman satu tim. Kompetisi mengharuskan kita mencurahkan semua yang kita miliki. Mencurahkan kemampuan, kepunyaan, hingga emosi. Saling sikut, saling salip, bahkan saling menginjak seringnya akan membuat hati dan pikiran kita mencapai titik ketegangan yang tinggi. Yang paling sepele, berlomba-lomba melewati lampu merah di tengah kemacetan jalanan Jakarta (setiap hari) pasti membuat kita emosi.

Tetapi, apa yang akan kita lakukan setelah menjadi si nomor satu? Tentu kita akan menomorsatukan sesuatu. Toh kita menjadi satu-satunya orang di nomor paling mungkin dalam melakukan itu. Kita bisa menomorsatukan keuntungan, organisasi, anggota, uang, bahkan kekuasaan itu sendiri. Semua punya efek masing-masing. Tak terkecuali bagi nomor-nomor di bawah nomor satu.

Hal-hal tentang kenomorsatuan itulah yang menjadi tema pertunjukan ke-18 pentas Indonesia Kita. Nyonya Nomor Satu. Begitulah judul pentas terakhir di tahun 2015 ini. Seperti tiga pentas Indonesia Kita sebelumnya, pentas kali ini digarap dengan sangat baik oleh ketiga tim kreatif, yakni Agus Noor, Butet Kertarajasa, dan Djaduk Ferianto. Mereka kembali mengambil konsep yang sama bagi pentas kali ini, yaitu berupa opera komedi, dengan selingan lagu atau tari-tarian yang mempercantik panggung Graha Bhakti Budaya, TIM.

Dengan sederhana namun tetap jeli mengangkat isu-isu terhangat di Tanah Air, tim kreatif berhasil menyajikan tontonan menarik bagi warga Jakarta yang setiap hari disibukkan dengan nomor-nomor yang harus mereka kejar. Tontonan yang “membebaskan dan mencerdaskan” menurut Agus Noor. Membebaskan pikiran dari kepenatan dengan tawa riuh dan tata artistik pentasnya sepanjang 3 jam pertunjukan. Mencerdaskan kita akan isu-isu sosial dan politik yang sering kita sendiri lupakan dan abaikan karena sibuk memikirkan bagaimana menjadi nomor satu.

[caption caption="Adegan Tarzan sedang menasehati Happy Salma"]

[/caption]

Para pemain kali ini merupakan seniman-seniman lintas generasi dan bidang. Trio GAM dengan gaya lawak Mataraman, Tarzan Srimulat, serta duet Cak Lontong dan Akbar yang besar dari Stand-up Comedy sama sekali tidak membiarkan rasa bosan penonton muncul walaupun durasi pentasnya cukup lama. Dan yang menjadi bintang tamu kali ini adalah Koes Hendratmo dan Titiek Puspa. Dua penyanyi legendaris Indonesia yang usianya beda-beda tipis dengan Negara Indonesia, namun masih konsisten di jalan kesenian mereka.

Seperti pentas-pentas sebelumnya, pentas kali ini juga menjadikan budaya sebagai sarana dalam beribadah. Ibadah Kebudayaan. Istilah itu melekat pada setiap pentas yang selalu disebutkan oleh Butet. Sebagaimana ibadah yang akan memberikan ketenangan. Menonton pentas ini juga begitu. Menomorsatukan kebudayaan dalam melihat mozaik keragaman Nusantara. Mengemas dalam satu nilai estetika tinggi. Mengharmonikan gejala sosial politik yang serba sumpek dengan tawa lepas pemain, tim, dan penonton. Menjadikan pentas ini sebuah sarana ibadah bagi siapapun yang terlibat dalam merefleksikan kehidupan sosial masyarakat.

Penting

Secara umum, Nyonya Nomor Satu memberi poin-poin penting untuk diketahui dan direnungkan. Sulit berkembangnya kelompok-kelompok kesenian yang abai akan manajemen, modernitas, dinamika masyarakat, malahan asik dengan dunianya sendiri digambarkan dengan tutupnya sebuah kelompok “Stambul Bintang Timoer” milik Tarzan Srimulat.

Hal lain yang penting adalah saat Stambul Bintang Timoer yang bangkrut kedatangan seorang juru selamat yaitu seorang nyonya yang dulunya adalah anggota stambul itu yang “tersisihkan”. Tukiyem, yang diperankan Yu Ningsih, menyebut dirinya Si Nyonya Nomor Satu karena memiliki uang banyak untuk “menyelamatkan” stambul ini. Namun, kepentingan selalu ada saat menjadi si nomor satu itu. Tukiyem ternyata menggunakan kekuasaan uangnya, untuk menjadikannya berkuasa penuh atas semua yang ada di stambul itu. Termasuk “membeli” para pemain.

[caption caption="Koes Hendratmo dan Titiek Puspa sedang Berduet di Ujung Pentas"]

[/caption]

Tukiyem adalah potret pemimpin yang bisa berkuasa karena menjadi nomor satu. Dengan posisinya itu, pemimpin-pemimpin macam Tukiyem akan menomorsatukan dan memaksakan kepentingan pribadi. Dan sayangnya, peran Tukiyem banyak “dicatut” oleh orang-orang nomor satu di negeri ini. Prihatin.

Pentas yang ditampilkan tiga kali dalam dua hari ini ditutup dengan happy ending. Kredit bagi para crew yang terlibat dalam penggarapan pentas kali ini, sekaligus menutup pentas Indonesia Kita 2015. Tahun depan, dengan tema besar “Dari Warisan Menjadi Wawasan”, panggung ini akan tetap hadir. Tetap menyelami kehidupan sosial masyarakat dan politik. Tetap pada kemasan yang cerdas dan menghibur. Tidak asik sendiri dalam berkarya. Serta tetap memberikan tontonan yang wajib dan berkualitas bagi yang lupa bagaimana caranya melakukan “Ibadah Kebudayaan” di tengah kompetisi kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun