Memasuki hutan yang rapat. Melihat tanjakan demi tanjakan. Menyapa sesama pendaki yang sedang beristirahat. Sesekali kita pun beristirahat saat nafas mulai berat, dan kaki mulai pegal. Istirahat sejenak untuk kemudian melangkah lagi. Istirahat lagi. Melangkah lagi. Sampai cahaya terang di depan kita muncul tanda bahwa jalur hutan sudah berakhir dan Suryakencana sudah di depan mata.
Lelah sejenak lenyap. Kesah berubah gembira. Peluh menjadi tawa. Suryakencana. Padang luas itu akhirnya kutemui lagi. Matahari masih jauh menuju benam. Namun udara dingin begitu menggigit. Di tanah yang luas itu tampak segala macam aktifitas para pendaki. Ada yang baru tiba, mendirikan tenda, bermain, berfoto, mengambil air, atau sekedar duduk-duduk melepas lelah setelah pendakian.
Setelah mendirikan tenda sedikit ke dalam semak-semak untuk mengantisipasi angin gunung, aku duduk mengulang memori dua tahun lalu. Bersama kopi, rokok, dan buku. Aku nikmati dinginnya sore itu. Sebelum malam tiba, saat langit masih bercahaya, aku menuntaskan rinduku.
Malam tiba. Bukan sunyi namun malah riuh. Ratusan pendaki yang memilih camping di sini mungkin sama dengan kita yang sedang bercengkarama sambil menyiapkan makan malam. Di depan api unggun, aku menghangatkan badan. Menikmati malam, mengobrol dengan teman seperjalanan, menyiapkan ayam bakar untuk santap malam. Di selimuti langit cerah dan dingin menusuk, aku berkata dalam hati “telah tuntas rinduku padamu, Suryakencana.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H