Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Translator Pada Acara Wayangan

17 Juni 2014   23:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:20 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1403012208708793507

Hari minggu kemarin akhirnya saya menyaksikan wayangan semalam suntuk pertama saya atau lek-lekan kalau dalam istilah Jawa. Bagi orang-orang tua dari Jawa dan sekarang tinggal di Jakarta pasti merindukan acara seperti ini. Ya, karena pengunjungnya kebanyakan orang-orang paruh baya bahkan sudah sepuh.

Acara itu adalah acara rutin dari PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) yang diadakan sebulan sekali. Saya tidak tahu lokasi dan jadwalnya biasanya, tapi kemarin diadakan di halaman Gedung Btari Sri, Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Selain merupakan agenda rutin, acara kemarin sekaligus acara peresmian sebuah komunitas yang digadang oleh dalang (dan artis) Sujiwo Tejo. Komunitas itu bernama “Komunitas Rahwana Putih”. Konsep sebenarnya belum begitu jelas. Tapi mungkin akan dibuat semacam diskusi berbalut budaya (wayang) yang mirip dengan Kenduri Cinta-nya Cak Nun atau Emha Ainun Najib yang rutin sebulan sekali diadakan di halaman Taman Ismail Marzuki.

Lakon wayangan malam itu adalah “Lahire Semar”. Bercerita tentang lahirnya anak-anak Sang Hyang Tunggal yaitu Bathara Ismaya (Semar), Bathara Tejamaya (Togog), dan Bathara Manikmaya (Batara Guru). Dalangnya terkenal, yaitu Ki Purbo Asmoro. Seorang dalang yang sudah go international, seperti Singapura, Jepang, Amerika, Inggris, dan Bolivia.

Sekilas tidak ada yang aneh dalam acara itu. Ada panggung, deretan wayang di kanan-kiri dalang, sinden, dan pemain gamelan. Penontonnya pun rata-rata biasa saja, ada yang duduk di kursi, lesehan di atas terpal atau baliho, dan ada yang berdiri. Banyak penjual makanan dan kopi. Tak ketinggalan penjual kacang rebus.

Yang tidak biasa yaitu ada seorang translator di samping depan panggung. Bukannya translator yang teksnya sudah dibuat, tapi ini translator-nya bekerja live. Saat dalang berbicara, dia menarik makna dan men-translate ke dalam Bahasa Inggris. Benar, Bahasa Inggris. Dengan screen, projector, dan laptop dia bekerja dengan mengetik semua terjemahan dari bahasa wayang. Kenapa bahasa wayang, karena dia bisa menjabarkan semua istilah wayang menjadi kalimat yang mudah dimengerti. Contohnya saat dalang bilang Cupumanik Astagina, maka dia akan menterjemahkannya kurang lebih begini: Equip which can be used to see all that will be happened in the world in the future. Bahkan adegan diam (biasanya diisi oleh sinden) bisa dia terjemahkan menjadi kalimat.

Tentu saja selain harus fasih bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dia harus cepat mengetik dan mengenal jagad pewayangan. Orang itu bernama Kitsie Emerson. Dia berasal dari Amerika Serikat. Orang bule tapi seperti sudah manunggal pada Budaya Jawa.

Selama 20 tahun dia memperlajari kebudayaan Jawa. Bersama suaminya yang juga pemain kendang, dia jatuh cinta dan menetap di Indonesia. Alasannya karena budaya Jawa. Dia menaruh minat pada wayang, karawitan, bahasa Jawa, dan batik. Katanya, di Amerika sana, jika ada pertunjukan wayang dari Indonesia maka pasti tiket akan habis terjual. Harga tiket disana relatif tidak murah, seratus dollar atau sekitar satu juta rupiah. Sedangkan disini gratis. Jadi tidak ada alasan sebenarnya untuk tidak berapresiasi pada pertunjukan wayang, umumnya kebudayaan, di negeri kelahiran wayang sendiri.

Selain mahir bahasa Jawa, dia juga sempat diberi kesempatan oleh dalang untuk bermain kendang. Dan seperti yang sudah terduga, dia piawai menabuh alat musik itu dan bisa mengiringi sinden bernyanyi dengan laras salendro.

Tapi untuk siapa dia men-translate? Ternyata di bangku penonton ada lagi satu bule. Dia bekerja di kedubes Amerika Serikat dan malam itu adalah malam terakhir dia bertugas di sini. Setelah ini dia akan kembali menjadi abdi Presiden Obama di negerinya. Namanya Ted, kependekan untuk Theodore. Ted ini nge-fans pada Ki Purbo Asmoro. Saat sang dalang main dan ada Kitsie sebagai translator, maka dia akan menonton. Selama tugasnya di Indonesia dia sudah menyaksikan Ki Purbo Asmoro sebanyak sepuluh kali.

Kitsie bilang, memperlajari budaya Jawa itu “sak modare” atau sematinya alias tak terbatas. Menurutnya semakin dipelajari maka akan banyak lagi yang ingin dan harus dipelajari yang dia belum tahu. Budaya Jawa itu kaya sekali. Dan Indonesia itu dikenal dan menjadi daya tarik dunia karena kebudayaannya. Walaupun terkadang ada interferensi dari Agama tentang kebudayaan, tapi itu dijawab bijak oleh dalang (berlaku umum untuk Indonesia).

“Kita ini bukan orang Arab, kita ini orang Jawa dengan semua budaya dan nilai yang sudah diwariskan. Jadi kita tidak mengikuti budaya Arab tapi kita tetap menjadi “Orang Jawa” yang beragama.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun