Dimulai sejak tanggal 9 Januari 2015 hingga hari ini, area teras Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat dipenuhi poster-poster dan spanduk bertuliskan kalimat-kalimat propaganda kebudayaan. Tulisan-tulisan seperti “Hidup Tanpa Seni yang Berkepribadian Seperti Hidup Tanpa Jiwa” dan masih ada puluhan lainnya, dimaksudkan sebagai quote retoris dalam aksi para seniman di awal tahun 2015 ini.
[caption id="attachment_345904" align="aligncenter" width="441" caption="Kalimat Propaganda"][/caption]
Memanfaatkan undakan di halaman depan TIM, mereka memasang sound system seadanya untuk keperluan aksi mereka. Aksinya berupa diskusi, orasi, kemudian pementasan berbagai karya seni. Panggungnya menghadap ke Jalan Cikini, agar menarik perhatian publik. Hiasan panggung berupa seni instalasi seperti jalan layang dengan bunga mawar plastik berbagai warna. Beberapa lukisan yang dilukis hari itu juga dipasang sebagai media tambahan dalam aksi tersebut.
Pengerdilan Kesenian
Aksi mereka tentu bukan tanpa sebab. Aksi yang bertajuk ”Save For PKJ-TIM” ini dilakukan dalam rangka menjaga rumah kebudayaan mereka dari putusan Pemprov DKI mengenai izin pengelolaan TIM.
Bersumber dari berita di Kompas.com, Pak Ahok dan Pemprov DKI bermaksud mengalihkan pengelolaan TIM dari para seniman menjadi di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) DKI Jakarta. Beberapa yang akan dilakukan menurut para seniman adalah penarikan retribusi yang lebih besar dan penempatan PNS-PNS yang akan ditugasi mengelola segala keperluan kesenian disana.
[caption id="attachment_345907" align="aligncenter" width="454" caption="Set Panggung Sederhana"]
Yang menjadi kekhawatiran para seniman, pertama yaitu beralihnya fungsi TIM yang dibangun dengan cita-cita besar sebagai pusat kebudayaan menjadi sekedar taman budaya. Dikhawatirkan akan menghilangkan identitas kebudayaan dan kesenian dan menjadikan TIM sekedar bangunan untuk disewa. Kedua, komersialisasi akan terjadi. Itu akan menjadi faktor pengerdilan nilai-nilai estetik kebudayaan dan kesenian. Dan berpotensi digantikan oleh kesenian yang “popular”. Ketiga, penetapan PNS sebagai pengelola akan berdampak pada pelayanan. Dimana PNS yang menurut mereka tidak mengerti kebebasan berekspresi dalam kesenian akan menghambat berjalannya proses berkesenian. Mereka mencontohkan hal itu terjadi di daerah lain.
Namun sebenarnya semua itu masih dalam tingkat kekhawatiran. Tentu saja berdasarkan data dan fakta yang telah mereka kumpulkan sehingga mendorong terjadinya aksi ini. Namun, apakah penerapan UPT akan baik atau buruk sejatinya belum dapat diketahui.
Dalam aksi kultural tersebut, mereka bermaksud membangun opini publik untuk menolak pengadaan UPT (Unit Pelaksana Teknis), komersialisai kesenian, dan peguasaan kesenian oleh birokrat di TIM. Serta memberikan pengelolaan sepenuhnya pada para seniman yang merupakan “keluarga” besar yang tinggal dan merawat TIM dengan segala inventaris-inventaris seni dan budaya.
Sentilan Bagi Seniman
Namun, menurut salah satu pengisi acara yang saya tanyai, ini juga merupakan sentilan bagi para seniman sendiri. Pertama, bagi seniman yang lunak pada kekuasaan yang ujung-ujungnya damai di meja perundingan. Kedua, bagi para seniman yang tidak produktif. Seniman yang tidak kreatif. Padahal jiwa seniman paling mutlak adalah kreatifitas.
Jadi, secara luas aksi ini bisa dijadikan langkah bebenah diri bagi TIM sendiri dalam membangun kembali kesenian dan kebudayaan yang memiliki jiwa. Dan menjadikan seni dan budaya sebagai bidang yang harus diperhitungkan sebagai kepribadian dan identitas Indonesia di mata dunia.
[caption id="attachment_345906" align="aligncenter" width="441" caption="Aksi Pementassan"]
Aksi ini masih akan berlangsung hingga tanggal 13 Januari 2015 nanti. Dalam billboard jadwal acara TIM ada satu acara yaitu “Panggung Aksi 5 Hari Menolak UPT untuk PKJ-TIM”. Dengan banyak nama seniman disana dan gambar mirip Pak Ahok. Di luar aksi ini, aksi perundingan juga dilakukan pihak-pihak terkait dalam menyelesaikan kasus ini. Rencananya acara ini akan ditutup dengan penandatanganan petisi penolakan UPT. Ada kemungkinan akan berlanjut pada aksi yang lebih besar.
Sebagai penutup, kutipan dari puisi Mas Willy (panggilan untuk W.S Rendra) saya rasa cocok. Sajak Sebatang Lisong, 1977.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
#SaveForTIM
Salam Budaya,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H