Mohon tunggu...
Pradana Muhammad Nur
Pradana Muhammad Nur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Palangka Raya

Selanjutnya

Tutup

Money

Potensi Bank Sentral Digital 4.0 Menghadapi Problematika Perekonomian Global

7 Desember 2022   19:23 Diperbarui: 7 Desember 2022   19:37 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Rabu, 26 Oktober 2022 Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa tahun depan, tepatnya tahun 2023 Perekonomian Global di ramalkan "Gelap" oleh Internatioanl Menetary Fund yang merupakan lembaga keuangan internasional. 

Hal ini membuat kepanikan di berbagai wilayah yang khawatir akan terjadinya Resesi tahun 2023 mendatang. Sebenarnya hal tersebut sudah dapat dilihat dari tanda-tandanya bahwa perekonomian di berbagai negara khususnya negara-negara besar yang memiliki perekonomian raksasa mulai mengalami inflasi besar-besaran. 

Hal tersebut membuat negara-negara itu menaikkan suku bunganya ke tingkat yang lebih tinggi untuk mengendalikan inflasi. Kebijakan tersebut mungkin merupakan langkah yang tepat bagi negara-negara yang terdampak inflasi, akan tetapi hal tersebut berdampak negatif kepada negara lainnya karena perekonomian dari negara-negara besar tersebut merupakan pondasi dari stabilisasi perekonomian dari negara yang masih berkembang, khususnya Indonesia. 

Seperti lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, perekonomian global terus di tempa tanpa dibiarkan istirahat setelah sebelumnya dilanda wabah Covid-19 dan harus langsung berhadapan dengan krisis ekonomi yang terjadi saat ini.

Krisis ekonomi global tersebut tidak lepas dari dampak invasi atau perang yang dilakukan oleh Russia terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu. Hal tersebut menyebabkan lonjakan harga energi dan pangan yang berakhir dengan krisisi energi dan pangan di berbagai negara Eropa, karena Rusia merupakan eksportir minyak dan gas terbesar di pasar global. 

Di benua Eropa, kebutuhan serta ketergantungan yang berlebihan pada minyak dan gas alam Rusia menyebabkan benua-benua di Eropa sangat rentan terhadap kurangnya persediaan atau pasokan energi yang di batasi oleh Rusia. 

Dari krisis energi di benua Eropa tersebut juga membuat pada berkurangnya jumlah persediaan dan naiknya harga BBM di Indonesia, yang mana pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi karena sudah tidak mampu lagi untuk menutupi biaya subsidi bahan bakar yang sudah membengkak akibat harga bahan bakar global yang juga melonjak naik. 

Naiknya harga BBM secara otomatis membuat harga-harga lainnya juga merangkak naik khususnya harga bahan pangan. Hal tersebut sangat berdampak kepada masyarakat ekonomi menengah ke bawah khususnya masyarakat miskin yang ada di seluruh Indonesia karena harus mengeluarkan Uang lebih untuk memenuhi kebutuhan pangannya. 

Dari naiknya harga bahan-bahan pokok tadi juga sudah pasti menaikkan tingkat inflasi yang di alami Indonesia. Dari hal tersebut sudah tidak bisa di pungkiri lagi bahwa akan muncul berbagai macam resiko yang akan di rasakan Indotnesia, salah satunya adalah meningkatnya tingkat kemiskinan pada tahun 2023 nanti di tambah dengan ramalan atau prediksi resesi pada tahun 2023. 

Jika Pemerintah Indonesia tidak segera menyiapkan strategi yang tepat dalam setiap langkahnya untuk menangani hal tersebut, maka akan muncul kemungkinan terburuknya adalah perekonomian terus menurun dan memburuk, menyebabkan yang tadinya hanya inflasi sehingga menyebabkan depresiasi ekonomi. Depresiasi ekonomi juga dapat disebut sebagai resesi ekstrem yang berlangsung hingga dua tahun  berturut-turut.

Dalam menangani permasalahan ini, Bank Indonesia yang memegang penuh Kebijakan Moneter harus bisa berkoordinasi dengan segala aspek lembaga dalam mencapai stabilitas perekonomian. 

Seperti yang di sampaikan Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia menyampaikan bahwa Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan harus memiliki koordinasi yang erat mengenai kebijakannya dengan Pemerintah Pusat dan Daerah sehingga dapat berkontribusi kuat pada terkendalinya inflasi. 

Artinya kunci dari prospek kinerja perekonomian Indonesia yang baik merupakan adanya sinergi dan inovasi yang baik pula. Perlu sinergi fiskal dan moneter juga dalam perumusan kebijakan agar ekonomi nasional bisa diperkuat ketahanannya sehingga hasilnya dapat memberikan manfaat yang besar bagi rakyat dan negara dalam membangkitkan ekonomi nasional. 

Kita juga harus memiliki dan mempertahankan optimisme di dalam diri bahwa keterpurukan ekonomi akan dapat teratasi dalam lingkup nasional maupun internasional dengan tetap waspada akan segala hambatan dari ketidakpastian global saat ini dari resiko stagflasi dan bahkan reflasi. 

Mengutip dari siaran pers Bank Indonesia dalam menangani isu Resesi 2023 yang akan datang, Kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2023 akan memfokuskan diri dalam menjaga stabilitas perekonomian. Sementara itu, kebijakan Bank Indonesia lainnya yaitu kebijakan sistem pembayaran, kebijakan makro prudensial, kebijakan ekonomi inklusif dan kebijakan pendalaman pasar keuangan sebagai upaya dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.

Berbicara mengenai kebijakan sistem pembayaran, efisiensi atau kelancaran dalam transaksi pembayaran mungkin saja dapat menjadi salah satu jawaban dari keterpurukan perekonomian di tahun depan. 

Mekanisme pembayaran yang selalu dituntut untuk mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam hal perpindahan uang secara cepat, aman dan efisien, untuk itu diperlukan inovasi-inovasi teknologi pembayaran. Bank Indonesia dituntut untuk selalu memastikan bahwa setiap perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada pada koridor ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu saja demi kelancaran dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran. 

Bank Sentral Digital 4.0 dapat menjadi dapat salah satu strategi dalam mendorong inovasi perekonomian keuangan dan digitalisasi sistem pembayaran untuk menghadapi melemahnya keadaan ekonomi di tahun 2023 mendatang. 

Bank Sentral Digital 4.0 juga bisa mempersempit kesenjangan masyarakat. Salah satu perwujudan transformasi dalam membangun bank sentral digital masa depan adalah dengan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau dapat diartikan juga sebagai Rupiah Digital. 

Deputi Gubernur BI, Doni P Joewono. BI sendiri juga meyakini, mata uang digital memiliki peluang meningkatkan pertumbuhan pasar modal Indonesia. Hal ini sekaligus juga akan memfasilitasi akses pembayaran dan inklusi keuangan. "Kita juga bisa belajar tentang implikasi dan peluang positif CBDC bagi sistem keuangan. Dengan demikian CBDC akan membantu membuka peluang bisnis dan transformasi kebijakan,". 

Hal tersebut juga sejalan dengan kerangka terakhir yang disepakati bank sentral G20 yakni mengenai inklusi keuangan. Presidensi G20 Indonesia mendorong untuk memajukan kerangka inklusi keuangan, memanfaatkan digitalisasi untuk mendorong produktivitas dan ekonomi yang berkelanjutan, serta inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun