Pendidikan merupakan hak setiap anak. Namun, di Indonesia, ada sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu praktek jual beli bangku sekolah. Praktek ini merujuk pada transaksi finansial yang dilakukan untuk memperoleh tempat di sekolah yang diinginkan. Sayangnya, fenomena ini berdampak negatif pada pendidikan di negara ini, salah satunya adalah tingginya angka anak putus sekolah.
Anak-anak yang putus sekolah bukanlah masalah baru di Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan fenomena putus sekolah ini terjadi, salah satunya faktor ekonomi. Banyak keluarga di Indonesia masih hidup dalam kemiskinan dan tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Ketika terpaksa harus memilih antara memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari atau pendidikan, kebanyakan keluarga memilih yang pertama. Akibatnya, anak-anak tersebut terpaksa berhenti sekolah dan mulai bekerja atau membantu mencari nafkah di usia yang belia.
Selain faktor ekonomi, faktor geografis juga berperan penting dalam fenomena putus sekolah. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terdiri dari banyak pulau, termasuk daerah terpencil dan sulit dijangkau. Di beberapa daerah, akses ke sekolah masih terbatas dan infrastruktur pendidikan yang memadai belum sepenuhnya tersedia. Hal ini menyulitkan anak-anak di daerah tersebut untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Tantangan lainnya adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan di kalangan masyarakat. Beberapa keluarga mungkin tidak melihat manfaat jangka panjang dari pendidikan formal dan lebih memilih anak mereka untuk bekerja atau membantu usaha keluarga. Kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan sebagai kunci untuk mengubah nasib dan meningkatkan kualitas hidup menjadi hambatan dalam upaya mengurangi angka putus sekolah.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Statistik Pendidikan 2022 yang menggambarkan kondisi pendidikan Indonesia berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022 yang dikutip dari CNBC. Data tersebut menunjukkan bahwa angka putus sekolah di jenjang SMA mencapai 1,38% pada tahun tersebut. Persentase ini menandakan bahwa terdapat 13 dari 1.000 penduduk yang mengalami putus sekolah di jenjang SMA. Angka ini meningkat sebesar 0,26% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 1,12%.
Selain itu, angka putus sekolah di jenjang SMP tercatat sebesar 1,06% pada tahun 2022. Persentase ini juga mengalami peningkatan sebesar 0,16% dari tahun sebelumnya yang sebesar 0,90%. Sementara itu, angka putus sekolah di jenjang SD masih sebesar 0,13%, mengalami kenaikan 0,01% dibandingkan dengan tahun 2021 yang sebesar 0,12%.
Selain data dari BPS, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia juga mencatat jumlah anak putus sekolah di Kabupaten Tangerang, Banten. Terdapat 22.194 anak di Kabupaten Tangerang yang mengalami putus sekolah. Kabupaten Tangerang menempati posisi tertinggi setelah Kabupaten Lebak sebagai daerah yang memiliki jumlah anak putus sekolah tertinggi di Provinsi Banten.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemendikbud mencatat, Kabupaten Lebak menempati posisi kedua dengan jumlah anak putus sekolah sebanyak 16.656. Posisi ketiga ditempati oleh Kabupaten Pandeglang, dengan angka anak putus sekolah sebanyak 11.410 orang. Pada urutan keempat, terdapat Kabupaten Serang dengan jumlah anak putus sekolah mencapai 10.778 orang.
Disusul oleh Kota Tangerang pada posisi kelima dengan jumlah 7.844 anak putus sekolah. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menempati urutan keenam dengan jumlah anak putus sekolah sebanyak 6.079 orang. Nomor tujuh dipegang oleh Kota Serang dengan jumlah 5.977 anak putus sekolah, dan Kota Cilegon berada pada posisi terakhir dengan jumlah anak putus sekolah mencapai 1.913 orang.
Dari total 22.194 anak putus sekolah di Kabupaten Tangerang, terdapat dua kategori, yaitu Drop Out (DO) atau berhenti begitu saja, dan kategori Lulus Tanpa Melanjutkan (LTM). Di tingkat sekolah dasar (SD), angka Drop Out mencapai 2.543 orang, sementara kategori Lulus Tanpa Melanjutkan sebanyak 7.251 orang. Pada tingkat SMP, angka Drop Out berjumlah 1.636 orang, sedangkan kategori Lulus Tanpa Melanjutkan mencapai 8.623 anak. Sementara itu, pada tingkat SMA sederajat, angka Drop Out mencapai 2.104 orang.
Angka tersebut akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan jenjang pendidikan. Jika jumlah anak putus sekolah terus bertambah, maka akan timbul berbagai masalah baru seperti peningkatan pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, dan kenakalan remaja.
Selain faktor-faktor tersebut, masih ada faktor lain yang menyebabkan anak-anak putus sekolah, yaitu fenomena permainan bangku kosong di sekolah-sekolah. Fenomena ini merupakan permainan dari pihak sekolah kepada orang tua murid dengan tujuan agar anak tetap bisa masuk ke sekolah impian mereka, meskipun sebenarnya anak tersebut tidak lolos dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Kisaran harga yang ditawarkan pun beragam, jika itu benar-benar merupakan sekolah favorit di daerahnya, maka biaya permainan bangku kosongnya pun akan semakin besar, namun ada range sendiri dari masing-masing sekolah, yaitu berkisar 4 hingga 8 juta rupiah.
Praktek jual beli bangku sekolah ini memiliki dampak yang nyata dalam meningkatnya jumlah anak putus sekolah di Indonesia. Anak-anak dari keluarga yang tidak mampu sering kali terpinggirkan dan tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak. Mereka terhambat dalam mengembangkan potensi diri dan terbatas dalam mencapai masa depan yang lebih baik. Selain itu, praktek ini mencerminkan minimnya kesempatan bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas secara adil dan merata.
Untuk mengatasi praktek jual beli bangku sekolah dan mengurangi angka anak putus sekolah, diperlukan tindakan konkret dari semua pihak terkait. Pertama, pemerintah harus mengambil langkah serius dalam penegakan hukum dan memberikan sanksi tegas kepada mereka yang terlibat dalam praktek ini. Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan dalam sistem penerimaan siswa di sekolah.
Kedua, investasi dalam pembangunan infrastruktur pendidikan harus menjadi prioritas. Penambahan jumlah sekolah dan peningkatan kualitas fasilitas pendidikan akan membantu meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi semua anak. Program beasiswa dan bantuan keuangan juga perlu diperluas untuk membantu keluarga yang kurang mampu dalam memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka.
Selain itu, kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan. Orang tua perlu menyadari bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, dan tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan faktor finansial. Pendidikan harus menjadi prioritas utama dan tidak boleh dijadikan sebagai ajang bisnis yang merugikan anak-anak.
Dengan upaya bersama dari pemerintah, sekolah, masyarakat, dan keluarga, diharapkan fenomena praktek jual beli bangku sekolah dapat diatasi, dan setiap anak di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H