Pendidikan Entrepreneurship mulai dirintis sejak 1950-an di beberapa Negara Seperti Eropa , Amerika, Dan Kanada. Bahkan Sejak 1970-an banyak Universitas yang sudah mengajarkan manajemen usaha kecil. Pada Tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di Amerika serikat sudah mengajarkan tentang EntrepreneurshipDi Indonesia, Entrepreneurship dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi tentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan tantangan seperti adanya krisis ekonomi, pemahaman Entrepreneurship baik melalui Pendidikan formal maupun pelatihan – pelatihan di segala lapisan masyarakat Entrepreneurship menjadi berkembang.
Fungsi dan peran entrepreneur dapat dilihat melalui dua pendekatan yaitu secara mikro dan makro. Secara mikro entrepreneur memiliki dua peran, yaitu penemu (innovator) dan perencana (planner). Sebagai penemu entrepreneur menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru, seperti produk, teknologi, cara, ide, organisasi dan sebagainya. Sebagai perencana entrepreneur berperan merancang tindakan dan usaha baru, merencanakan strategi usaha yang baru, merencanakan ide-ide dan peluang dalam meraih sukses, menciptakan organisasi perusahaan yang baru dan lain-lain.
Ciputra mengemukakan lima alasan penting mengapa perlu mempromosikan entrepreneurship untuk negara berkembang seperti Indonesia (Nugroho,2009).
1.Budaya “pegawai” atau “pekerja”
Ciputra (2009) mengemukakan fakta bahwa kebanyakan generasi muda Indonesia tidak dibesarkan dalam budaya entrepreneur, melainkan dalam budaya “pegawai” atau “pekerja” dan ambtenaar atau “pegawai negeri”. Mereka lahir dari kalangan pegawai negeri, petani, nelayan, buruh, hingga pekerja serabutan. Entrepreneurship tidak ada dalam pendidikan keluarga, tidak mengherankan jika setelah dewasa mereka memiliki pola piker “mencari kerja” dan tidak dalam pola piker “menciptakan kerja”.
2.Entrepreneurship tidak eksis di pendidikan formal
Jika pendidikan entrepreneurship tidak eksis dalam pendidikan keluarga, demikian juga dalam pendidikan formal. Inspirasi dan latihan entrepreneurship tidak tercermin atau tidak kita lihat dalam materi ajar kebanyakan sekolah, sebagian besar pendidikan entrepreneurship diberikan di Balai Latihan Kerja atau vocational education dan program-program kemitraan dari pelaku usaha besar.
3.Terlalu banyak pencari kerja
Ciputra (2009) menegaskan bahwa sudah waktunya untuk menyampaikan fakta kepada generasi muda sejak bangku sekolah dasar bahwa saat ini kita terlalu banyak memiliki pencari kerja dan sebaliknya memiliki terlalu sedikit pencipta kerja. Bahkan sekarang kita juga semakin banyak memiliki penganggur terdidik. Sehingga dengan fakta ini kita dapat memberikan keyakinan kepada generasi muda agar dapat memikirkan pilihan menjadi entrepreneur secara matang dan mereka tahu bagaimana mempersiapkan diri menjadi entrepreneur.
4.Mendidik kemampuan menciptakan pekerjaan
Ciputra (2009) mengemukakan apabila kita tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi generasi muda, kewajiban kita adalah mendidik dan melatih generasi muda untuk memiliki kemampuan menciptakan lapangan pekerjaan bagi diri mereka sendiri. Mengutip pendapat dari Caroline Jenner dalam The Next Generation Survey bahwa “We cannot give them jobs, but we can ensure that they have the core skills and competences to create them”.