Habislah cerita panyaweyan, lanjutkan perjalanan telaga biru Panten kecamatan Sindang melalui susur hutan bambu yang elok bagaikan terowongan. Pohon bambu menjulang kuat ujungnya menyapa satu dan lainnya membentuk trowongan yang mengabumkan sampai cahaya matahari hilang dari pandangan, ini perjalanna mengesankan kawan dan aku yakin sangat mengesankan yang akan di ceritakan kelak di sana sahabat serumpun kita. Hehe
Jam menunjukan pada nagkan 13.45 harusnya kami lakukan makan siang dengan nasi kebul yang dihidangkan. Ini jadi kelupaan karena indahnya Seyuman Tuhan sajikan Alam Indonesia yang kami pandang. Tiba di tempat makan jam 14.50 kami bergegas pesan daging tusukan (sate) yang cepat bakar dan lahap menyantapnya.
Makan diatas Mobil Bak
Sate telah tersaji diatas piring yang dibagi berdasarkan jiwa yang lapar.. hujan sambut suasana dengan pikiran yang tenang baknya sufi yang meditasi tapi kami memulai makan dengan lahat menyambung tenaga utuk lanjutkan perjalanan ke Cipanten yang tak jauh dari tempat kita makan.
Ya makan ku di atas mobil terbuka, ini engga terbuka amat karena diatas kepala kami ada titupnya dengan terepan biru bagaikan tempat hajatan sunatan di depan rumah. Cuap dan lahatnya jadi keseruan dan ami nikmati makan dengan turunnya hujam yang semakin membesar.
Panten
Inilah telaga biru yang kami ceritakan, catatan sejarah tidak begitu gamlang menyebitkan kapan ditemukan dan siapa penemunya serta dari mana nama itu ada. Tapi ini telaha CIPANTEN yang kami kenal sekarang. Telaga ini sajikan air yang terlihat biru dari kejauhan.
Sayang... sayang ... hujan menyambut kami sampai tidak sempat mengelilingi dan hanya terdiam di kedai kopi yang sajian Ibu saji memperlihatkan keramahan sebagai pribumi. Inilah panten kami perkenalkan ke sahabat serumpun kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI