Kasus murid kelas 2 SD yang mendapat nilai 20 dari sepuluh soal Matematika, telah menuai silang pendapat di jagat media online. Beragam tanggapan dari orang biasa, kandidat doktor hingga professor masing-masing punya argumen valid dengan referensi keilmuannya.
Seperti dilansir kompas.com, professor astrofisika dari Lapan, Thomas Djamaluddin ini punya argumen, bahwa 4x6 beda dengan 6x4 meskipun hasilnya sama 24. Ia kemudian memberi ilustrasi dengan cerita:
"Ahmad dan Ali harus memindahkan bata yang jumlahnya sama, 24. Karena Ahmad lebih kuat, ia membawa 6 bata sebanyak 4 kali, secara matematis ditulis 4 x 6. Tetapi, Ali yang badannya lebih kecil, hanya mampu membawa 4 bata sebanyak 6 kali, model matematisnya 6 x 4. Jadi, 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4, berbeda konsepnya dengan 6 + 6 + 6 + 6 = 4 x 6, walau hasilnya sama 24," terang Thomas.
Lewat kasus ini, Thomas mengajak semua kalangan untuk memahami Matematika dengan logika, bukan menjadi generasi "kalkulator" yang sekadar tahu hasil.
"Dengan kemampuan berlogika, suatu kasus bisa dimodelkan dengan rumusan matematis sehingga mudah dipecahkan," ungkap Thomas.
Sementara Hendradi Hardhienata menanggapi PR Matematika anak 2 SD dengan menulis di kompasiana.com, “Menurut saya, siswa harus diajarkan fondasi matematiknya dulu kemudian dijelaskan bahwa kali dalam bahasa sehari-hari tidak selalu sama dengan simbol kali (x) dalam matematika. Anak harus lebih banyak mengenal struktur dan bilangan misalnya dalam bentuk gambar atau objek ketimbang masuk ke operasi matematis yang formal. Kreativitas harus didahulukan penghukuman harus diganti dengan kearifan bahkan bisa jadi Anak tersebut sebenarnya lebih cerdas dari teman temannya.”
Lebih lanjut Kandidat Doktor Fisika Teoretik dari Universitas Linz, Austria ini menegaskan, bahwa Jawaban soal di atas sudah benar, bahkan karena kedua ruas adalah angka bukan variabel maka tanda sama dengan mengijinkan sejumlah takhingga solusi yang benar, asalkan jumlah kedua ruas sama. Menyuruh siswa untuk menjawab sesuai guru bisa berbahaya karena di masa depan ia akan berpikir argumen by authority atau kuasa ketimbang argument by PROOF.ima
Dengan menyimak dua argumen di atas, sebagai orang-tua murid tentu bingung. Kedua ilmuwan punya kebenaran valid dengan landasan kepakarannya.
Maka dengan kasus demikian, saya cuma bisa mohon kepada pak menteri di republik ini. Tolong matematika untuk anak SD dibuat yang menyenangkan. Anak SD berumur 6-12 tahun, sejatinya cuma butuh belajar kejujuran dan tanggung jawab agar punya budi pekerti.
Di negeri ini kejujuran dan tanggung jawab menjadi barang langka. Anak pamitnya berangkat sekolah, ternyata tawurang di jalanan. Anak sekolah sekarang juga dengan gampang melakukan pengrusakan fasilitas umum yang sejatinya menjadi tanggung jawab publik.
Sementara jika anak sekolah ini mampu meraih gelar akademik, mereka dengan enteng ngembat duit negara alias korupsi. Gayus tambunan, Anas Urbaningrum, Nazarudin, Angelina Sondakh, Andi Matalata adalah anak-anak muda produk sekolahan dengan IP akademik memuaskan. Hebatnya sudah bersalah pun, tapi mampu berkilah disebabkan paham ilmu matematika. Sama-sama korupsi, namun punya cara macam-macam.
Banyak orang tua biasa maupun bergelar sarjana mengeluh, selalu gagal paham membantu PR anak-anaknya yang baru duduk di bangku SD. Padahal kalau kita cermati, banyak kurikulum (buku pelajaran) yang notabene bikinan orang dewasa dipaksakan untuk diterapkan pada anak-anak. Pelajaran SD dianalisa macam bikin skripsi dan tesis. Maka jangan salahkan jika anakmu bilang, sekolah menyeramkan. Padahal mestinya sekolah itu tempat bermain yang menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H