Mohon tunggu...
Prabu Bolodowo
Prabu Bolodowo Mohon Tunggu... wiraswasta -

" I WANT TO MAKE HYSTORY, NOT MONEY."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak hanya PSSI, Di Philipina Rupiah juga Keok Sama Peso

14 Januari 2015   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:08 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_390741" align="aligncenter" width="300" caption="pedicup di sudut kampung, Manila."][/caption]

Lima hari di Manila, uang peso yang kubeli di sebuah money changer di Jakarta nyaris habis. Setelah kuhitung tak cukup untuk bayar airport fee di bandara international Ninoy Aquino, Pasay, Philipina.

Pesawat Cebu Pacific berangkat 8:55 malam nanti. Sementara pagi ini aku masih betah glesotan di kamar di sebuah gang sempit, di kawasan Sampaloc, Manila.

Sambil rebah di kasur, kubuka dompet. Ada selembar US $100 dan 6 lembar uang bergambar sang Proklamator, Soekarno-Hatta. Maka, jika nanti kena charges 550 Peso untuk airport fee, berarti sisa uang rupiahku masih 300.000. Aman, untuk hidup di Jakarta. Asal mau diet dengan menu warteg.

Dengan demikian, jadual terakhir di Manila - Blusukan pasar sekitar Sanpaloc-Quiapo - masih ok.

Setelah semua barang masuk ransel, segera prosesi hunting “wajah” Metro Manila dimulai. Sejumlah jalanan dan sudut kota Metro Manila hingga Makati, kurekam dengan hp.

[caption id="attachment_390742" align="aligncenter" width="300" caption="tanpa jepney, Manila akan kesepian"]

1421226215369590274
1421226215369590274
[/caption]

[caption id="attachment_390743" align="aligncenter" width="300" caption="boleh latihan disini dulu, sebelum ke Las Vegas"]

14212263101527286248
14212263101527286248
[/caption]

[caption id="attachment_390752" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan mulus di Makati"]

14212270741742622710
14212270741742622710
[/caption]

Blusukan di Makati, berasa berjalan-jalan di Sudirman (SDBC) Jakarta. Jalan raya beraspal mulus tanpa sampah berserakan dengan highrise building berdiri menjulang. Arsitektur bangunan tak punya identitas specific. Sama seperti gedung-gedung megah di Jakarta, material kaca dan aluminium mendominasi.

Jika Makati tumbuh sebagai kota modern yang bersih dan teratur, maka beda dengan Manila. Meski ke dua kota tersebut dapat ditempuh kurang 25 menit bermobil, kota Manila nampak kumuh. Suasana jalanan padat dengan bermacam kendaraan, sementara bangunannya kurang terawat. Mirip kampung-kampung di daerah mangga besar, Jakarta.

[caption id="attachment_390753" align="aligncenter" width="300" caption="tusuk-tusuk, kuliner khas Manila"]

142122741594122398
142122741594122398
[/caption]

1421227573250685329
1421227573250685329

Setelah puas blusukan di sejumlah pasar, menjelang jam 3:00 sore aku mulai ingat untuk membeli uang peso. Di Manila, ternyata tidak ada money changer yang mau beli rupiah. Dua tempat money changer menolak. Ok. Ora popo.

Dengan numpang jepney kucari money charger di daerah Makati. Ternyata sama saja. Rupiah kagak laku. Ada yang mau rupiah, namun maunya Rp.500 dibeli 1 Peso.

Di Jakarta aku beli 1 Peso Cuma Rp.275,-. Sementara di Manila sendiri yang merupakan tempat bikinnya justru mahal. Wah, asuuu.... tenan, aku mulai misuh-misuh.

Kurang dua jam dari pesawat berangkat, aku masih blusukan di Makati, cari orang jualan Peso yang murah. Atau, yang menjual dengan harga yang sama dengan di Jakarta. Ternyata sulit. Pemilik Money changer lebih suka beli dolar macam Singapur, Australia, apalagi dolar Amerika. Begitupun Ringgit Malaysia, masih gampang di jual di Manila.

Mulailah rasa nasionalismeku terusik dan hargadiriku sebagai Indonesia terinjak.

Ternyata, tak hanya tim sepakbolanya saja yang mampu bikin keok PSSI. Peso Philipina juga bikin keok rupiah. Dengan malu-malu, kumasukan kembali kertas warna merah bergambar Proklamator ke dompet. Dalam kesulitan begini, tetap saja kertas hijau bargambar George Whashington yang menyelamatkanku. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun