Apa yang anda rasakan setiap membuka laman media sosial? Marah? Gemas? Iri? Atau malah overthinking? Jika itu yang terjadi, please jangan tutup artikel ini dulu. Saya pastikan anda tidak akan mengalami hal menyebalkan tadi. Syukur-syukur malah membantu anda yang terjebak dalam kemuakkan media sosial.
Saya bisa maklum pada kondisi di atas. Makin cepat sebuah informasi tersebar, makin cepat juga seseorang bisa merasakan dampak negatifnya. Jika dulu anda harus menanti gosip tukang sayur agar overthinking, sekarang cukup membuka gawai anda.
Sayang sekali, tidak banyak yang menyadari dampak negatif dari kebyar-kebyar media sosial. Apalagi hari ini tidak ada batasan jelas antara kehidupan nyata dan maya. Apa yang terjadi di dunia maya bisa berdampak pada diri kita di dunia nyata. Jujur saja, anda pasti pernah marah-marah hanya karena foto unggahan teman anda. Kalau saya sih sering.
Jika sudah seperti ini, maka anda perlu mulai merawat pikiran. Karena pepatah mengatakan: otak sehat, semangat online. Salah satu cara merawat pikiran anda dari media sosial adalah digital detox.
Tenang, jangan berpikir detox ini merepotkan. Digital detox bukanlah segenap metode mengeluarkan racun seperti bekam atau patch yang dijual MLM. Sejatinya, digital detox adalah perkara sepele. Sepele, tapi susahnya tidak kalah dengan sabar menanti RUU PK-S disahkan.
Digital detox adalah istilah yang entah siapa penggagasnya. Inti dari istilah ini adalah "mengeluarkan racun" yang berasal dari dunia digital. Dan karena bicara digital, semua media sama-sama punya racun yang harus dikeluarkan.
Racun yang dimaksud bukan senyawa seperti arsenik atau sejenisnya. Racun digital adalah segenap informasi yang membawa dampak negatif dalam diri anda. Bisa berita, unggahan teman, sampai visual yang ditampilkan laman media sosial. Jangan salah, kerlap-kerlip laman yang anda pikir indah itu bisa membawa dampak negatif juga.
Nah, cara digital detox paling mudah adalah seperti detox dari racun tubuh: jangan memasukkan racun baru sampai racun lama dibersihkan hati. Jika senyawa racun dibersihkan oleh organ hati, racun digital juga dibersihkan hati dalam arti konotatif.
Jadi, kunci dari digital detox adalah menghentikan asupan racun digital sampai otak anda selesai "membuang" racun digital sebelumnya. Proses ini menuntut kita untuk menjauhi media digital, terutama media sosial. Sepele? Iya. Mudah? Belum tentu.
Masalah utama untuk digital detox adalah hilangnya batasan antara dunia nyata dan dunia maya. Hari ini kita benar-benar hidup di dua dunia, atau mungkin dua dunia tersebut telah lebur. Urusan pekerjaan dan pendidikan saja sudah melibatkan dunia maya. Apalagi dengan kultur kerja ala pandemi, dunia maya benar-benar jadi bagian hidup di dunia nyata.
Tapi tetap saja digital detox dibutuhkan. Menarik diri dari dunia maya akan memberi waktu bagi otak kita untuk istirahat. Tentu sembari membuang racun digital tadi. Tidak ada kiat istimewa ala motivator untuk urusan ini. Karena semua kembali pada diri sendiri.
Beberapa web kesehatan mental menyarankan waktu 4-6 jam sehari untuk menjauhi dunia maya. Saya pikir ini tidak mudah. Apalagi bagi anda yang mendapatkan penghasilan dari media digital: online shop, endorsment, atau buzzer politik.
Tapi, ada metode yang saya pikir cukup mudah dilakukan. Cukup buat interval antar kesempatan membuka gawai atau berurusan dengan dunia maya. Sebut saja 30 menit. Anda akan membuka gawai serta berinteraksi di dunia maya tiap 30 menit sekali. Ketika membuka gawai, anda juga perlu mengatur batasan jelas. Misal 15 menit saja berselancar di dunia maya.
Tentu metode ini tidak diterapkan ketika pekerjaan anda menuntut untuk aktif di media sosial. Maka, teknik paling tepat ya menghindari gawai setelah bekerja. Sebut saja 1-2 jam, asal rutin. Setidaknya, anda telah mengurangi paparan racun digital di luar pekerjaan.
Jika anda merasa perlu melakukan digital detox, ada beberapa tips yang saya pikir perlu dipertimbangkan. Jangan lupa, tidak ada batasan lagi antara dunia nyata dan dunia maya. Maka abstainnya anda dari media sosial juga bisa berdampak bagi anda dan lingkungan sosial anda.
Tips pertama adalah memastikan lingkungan bahwa anda sedang melakukan digital detox. Tidak perlu koar-koar seperti sebuah hal spesial, kan tidak pakai telur. Minimal kabarkan bahwa anda akan slow response saat dihubungi. Entah pakai story, twit, status, atau artikel semacam ini.
Kedua, jangan ngalamun saja. Justru dengan ngalamun, anda bisa mengalami dua peristiwa negatif: memikirkan media sosial berikut informasinya, atau kesurupan. Cari saja hiburan atau kegiatan yang bisa lepas dari gawai. Misal berkebun, menulis, atau orasi sendiri di depan kantor Bupati. Pokoknya kegiatan tanpa gawai.
Ketiga, usahakan bisa keluar rumah. Entah nongkrong atau sekedar makan. Tapi jangan sampai anda malah sibuk membuat story saat makan enak. Atau sibuk menggosipkan akun nyinyir yang sedang menabur haters. Jika seperti itu, namanya bukan digital detox tapi gabut.
Jika anda merasa jenuh bahkan tertekan karena media sosial, berarti anda memang butuh untuk digital detox. Berarti, setelah membaca artikel ini silahkan asingkan gawai anda. Seruputlah minuman favorit sambil berkegiatan atau bercengkrama. Tenang saja, tidak banyak yang berubah di media sosial selama digital detox. Tetap menyebalkan, penuh humble bragging, dan sjw nyinyir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H