Di dalam perjalanan ke daerah, selain mengamati kehijauan alam negeri ini, saya selalu terkesima beragamnya jenis bambu. Di Nusa Tengara Barat (NTB), misalnya. Saya melihat bambu tutul yang tidak pernah saya jumpai di daerah lain. Di era awal 1990-an, saya masih menjumpai bambu tutul yang dibuat bangku berdiameter besar.
Hari ini jika ke NTB, bambu tutul yang besar, sulit ditemui. Dan lahan bambu tutul yang luas seakan lenyap entah ke mana. Padahal bambu tutul adalah aset mahal, selain untuk furnitur, dapat diolah menjadi kerajinan tangan; lampu duduk, tudung nasi, bahkan piring bambu, hingga lantai bambu tutul.
Jika saya pergi Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, saya pernah menemukan jenis nasi yang diberi bumbu, lalu dimasak dengan membakar bambu. Ketika di kampung Fadli Zon, di Sumatera Barat, selera saya bangkit, mendapatkan hidangan lemang tapai.
Lemang adalah beras ketan bersantan, lalu dimasukkan bambu berlapis daun pisang. Kemudian bambu itu ditegakkan di tungku bara batok kelapa, maka beras ketan matang. Jadilah lemang. Sedangkan tapai yang dimaksud, beras ketan hitam murni diberi ragi, di peram berlapis daun tiga hari, menghasilkan tapai benar-benar manis. Adakalanya lemang ketan itu disuguhkan dengan duren matang. Sebuah makanan tradisional yang sulit dijumpai di negara lain.
Masih di kampung Fadli Zon pula saya menemukan cerita rakyat tentang buluh (bambu) perindu. Orang-orang tua di sana punya cerita jika ingin disayang dan digilai wanita, carilah buluh perindu. Konon untuk mendapatkannya, harus pula pergi ke gunung mencari sebuah sarang burung yang lagi beranak. Maka, sebuah cerita ”kejahatan” terjadi.
Anak burung itu harus dipatahkan kakinya. Lalu sang ibu akan terbang mencari ranting bambu kecil untuk mengobati sang anak. Konon, bambu kecil yang didapat sang ibu memiliki ajian selain mampu menyembuhkan penyakit mampu membuat pemegangnya dicintai orang banyak. Saya ceritakan ihwal buluh perindu bukan ikutan latah macam heboh Ponari. Tetapi kisah buluh perindu sudah menjadi foklor tersendiri. Dan cerita rakyat sebuah aset bangsa.
Buluh perindu memang sebuah foklor. Tentu bukan maksud saya menuliskannya agar saya lalu digemari oleh semua orang Indonesia, lalu dipilih menang mutlak menjadi presiden?! Walau dalam hati memang berharap demikian ?
Tetapi saya tuliskan soal bambu, lebih karena bambu adalah aset pertanian Indonesia yang lainnya yang luar biasa kegunaannya. Di banyak desa, bambu betung menjadi penghubung. Bambu menjadi jembatan kokoh antara desa dengan desa lainnya.
Bukankah sejak dulu, bangsa Indonesia sudah mengenal bilik bambu. Di film Naga Bonar, yang aktornya kini juga mencapres, saya masih ingat dialog Dedi Mizwar, ”Sekolah bambu pun aku tak tamat.”
Saya selalu teringat akan kata sekolah bambu itu.
Ingin saya tegaskan bambu salah satu aset pertanian kita. Sudah sepantasnya banyak poduk yang dibuat berbahan bambu, dari perkebunan tanaman industri bambu, yang produksinya merambah pasar.
Jika Saudara mampir ke Nuasantara Polo, Jagorawi, Bogor, di Club House, saya sering disuguhi pepes ikan yang dimasak dalam bambu. Macam orang menanak lemang, tetapi di dalamnya ikan pepes.
Tetapi hingga hari ini belum pernah saya menemukan restoran, ada nasi bambu. Artinya nasi yang dimasak dalam bambu. Lalu potongan bambu itu secara unik dihidangkan macam nasa timbel di Jawa Barat, unik dan khas tentunya, apalagi aroma bambu yang masih baru. Hmmm..., saya jamin selera Saudara bergelora.
Ketika pernah berkunjung ke RRC, saya mengagumi sosok Panda, binatang langka macam beruang madu di sini, yang hanya memakan pucuk bambu, tetapi tubuhnya kekar, warna belang hitam putihnya khas.
Sesungguhnyalah dari bambu saja, saya yakin, banyak sekali kabajikan dan ”kekayaan” mampu menghampiri anak bangsa ini. Makanya saya selalu bertanya, mengapa bangsaku masih susah saja hidupnya di berbagai belahan daerah kini? Untuk itulah kini kita harus berkarya, menatap cerah ke depan.
Sementara mari menikmati cerita makan nasi bambu dulu bersama saya. Suatu saat boleh makan pepes ikan berlemang bambu bersama saya.
Salam Indonesia Raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H