Jayapura (Tanah Papua Untuk Indonesia) - Kecurigaan, ketegangan, kecemasan, dalam berbagai narasi "fiksi" yang sering kita dengarkan akhir akhir ini, seiring dengan meningkatnya "tensi politik nasional", jika diakumulasikan dapat disebutkan dalam beberapa daftar isu diantaranya: isu kecurangan pemilu, isu tidak netralnya penyelenggara pemilu, isu terlibatnya aparat keamanan dalam pengkondisian pemilu, dan isu digunakannya instrumen kekuasaan dalam pemilu..Â
Berbagai narasi kecurigaan yang terus hadir dalam bentuk perkataan dan tidak jarang diekspresikan dalam bentuk kemarahan, tentunya merupakan bagian dari "mekanisme self defence" dari setiap orang/pendukung yang tengah terlibat dalam kontestasi pemilu kali ini..
Sayangnya energi negatif "kecurigaan dan kemarahan" tersebut, tentunya semakin memperluas "ketegangan sosial" di masyarakat.. Padahal dalam realitas kehidupan masyarakat kita sehari hari, setiap tukang ojek hanya sibuk bagaimana melaksanakan layanan jasa antar jemput customer untuk menghidupi kebutuhan diri, anak, istri beserta keluarganya.. Setiap pedagang sayur di pasar setiap hari harus bekerja keras menjual barang dagangan untuk menghidupi kebutuhan keluarga.. Demikiannya pula para petani dan nelayan di pelosok kampung/desa, setiap hari waktu mereka dihabiskan untuk bercocok tanam/mencari hasil ikan di laut, untuk semata mata memenuhi kebutuhan keluarga mereka..
Pemilu sejatinya adalah perwujudan pesta demokrasi rakyat yang menuntun "hati nurani" kita semua, untuk berpartisipasi dalam agenda elektoral "memilih perwakilan pemimpin kita semua" yang tentunya harus menunjukkan ekspresi kegembiraan.. Sebab, kehidupan rakyat dilapisan bawah, berada pada keadaan dan rutinitas yang tidak dalam kondisi menyenangkan, dimana setiap harinya mayoritas rakyat kita sibuk dalam rutinitas mencari penghidupan dan pemenuhan kebutuhan keluarga..Â
Kehadiran politik "kecurigaan dan ketegangan" dengan selalu menghadirkan narasi "kecemasan terhadap kecurangan" hanya akan terus membebani pikiran rakyat dengan "paradigma" yang sejatinya "hanyalah narasi kontestasi merebut kekuasaan diantara para elit politik"..Â
Jika kita berempati pada "kesulitan  rakyat dalam kesehariannya" maka ada baiknya para elit politik yang tengah berebut suara rakyat, untuk tidak bermain main dengan narasi "kecemasan rakyat".. Hadirkanlah rasa percaya diri, optimisme, dan tentunya pelayanan politik kepada rakyat pemilih dengan suasana hati yang menggembirakan..  Sebab, keadaan kolektif dari hati dan pikiran yang menyenangkan, akan menghadirkan suasana pemilu yang sejuk, indah, dan mengakrabkan setiap warga negara..
Prabowo "gemoy" adalah istilah yang diberikan oleh generasi milenial, berupa penyebutan sosok Prabowo sebagai tokoh yang menggemaskan (gemoy/gemas).. Dengan adanya ekspresi kalangan milenial yang menempatkan sosok Prabowo sebagai tokoh yang "gemoy", tentunya diharapkan segala bentuk ekspresi politik yang hadir, akan ikut mempengaruhi terciptanya pemilu yang menyenangkan..Â
Para pemilih generasi milenial juncto pemilih Gen z pada saat ini, telah menjadi pemilih mayoritas dalam pemilu 2024 mendatang, eksistensi populasi mereka telah mengalahkan pemilih generasi Baby Boomer dan generasi Gen X.. Dikalangan generasi milenial dan Gen z yang terpapar dengan pergaulan "Social Media, e-sport, dan e-commerce", tentunya tidak terlalu serius menanggapi "perseteruan" para elit politik nasional dalam menyambut kontestasi pemilu, sebab, atensi mereka adalah menginginkan kehidupan yang berjalan dengan baik, terselenggaranya ekspresi pergaulan yang menyenangkan, terakomodasinya ekspresi bakat/hobby dalam sejumlah komunitas kerja, dan lain sebagainya..
Kegaduhan yang di ekspresikan oleh para generasi politik lama, dengan terus mengkampanyekan narasi "kecurigaan/ketegangan" tentunya tidak masuk dalam preferensi para pemilih milenial dan Gen Z.. Kita semua tentunya harus menyadari tanggung jawab bersama, untuk menghadirkan kedamaian dalam setiap ekspresi politik.. Mahalnya kedamaian dalam sebuah negara bangsa, itu bisa dibuktikan dengan menyaksikan "dampak kehancuran politik" di negara-negara yang sedang mengalami perpecahan dan peperangan.. Harga dari sebuah kedamaian itu, harus dibayar mahal oleh para pemimpin politik nasional yang memaksakan ambisi dan kebenaran eksistensial dirinya, dengan menciptakan ekspresi kemarahan publik melalui narasi yang menciptakan kecurigaan dan ketegangan..
Horas
Maturnuwun
Wa Wa Wa
Hormat Kami,
Willem Wandik S.Sos
Waketum DPP Partai Demokrat
Dewan Pakar TKN Prabowo - Gibran Presiden 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H