Sore begitu cerah. Sang mentari begitu ramah menyapa sebelum dia pulang ke peraduan. Sementara itu, siswa-siswi kelas lima SD Cahaya Hati baru saja selesai ekstrakurikuler pramuka. Mereka langsung jalan ke depan sekolah untuk mencari angkot dan jemputan.
“Aik…kamu dijemput atau naik angkot?” tanya Dila sambil menyamakan langkahnya di samping Aik dan menyeruput air yang tinggal beberapa tetes di botol minumnya.
“Aku dijemput papa.” jawab Aik datar.
Sedangkan Tyas yang biasa dijemput bapaknya harus naik angkot karena bapaknya harus lembur di kantor. Tyas berjalan persis di belakang Aik dan Dila, tetapi mereka acuh dengan keberadaan Tyas.
Aik dan Dila memang berteman akrab. Mereka anak yang cerdas. Dari kelas satu selalu masuk tiga besar. Aik memang cantik, baik, dan rajin. Sampai sekarang belum ada seorang pun yang menggesernya di peringkat pertama. Sedangkan Dila, dia juga cerdas tetapi tidak mau tersaingi dengan teman lain. Aik dan Dila adalah teman yang rumahnya paling dekat dengan Tyas. Setiap kali Tyas bermain dengan mereka, Dila merasa terganggu dan judes dengan Tyas.
“Aduh, aku belum dijemput,” kata Aik gelisah.
“Sabar, mungkin papamu masih di jalan, Aik,” kata Tyas sambil menenangkan.
“Asik…itu angkot datang!” teriak Dila setelah melihat angkot warna merah.
Mereka pun mendekat ke pinggir jalan dan siap-siap untuk menghentikan angkot. Teman-teman yang tadinya menunggu jemputan akhirnya berpindah haluan untuk naik angkot kecuali Aik yang masih ingin menunggu papanya.
“Terakhir…terakhir,” teriak pak sopir yang memberi tahu bahwa angkot yang dia kendarai adalah angkot terakhir.
“Dila…aku belum dijemput…!” teriak Aik sambil menarik tangan Dila yang sudah bergegas masuk angkot.