Mohon tunggu...
prabas jihwakir
prabas jihwakir Mohon Tunggu... -

Indonesian Scholar,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Refleksi Berfikir Mahasiswa Rantau

25 Juni 2012   19:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita berfikir! Supaya kita tidak dicap kufur ni’mat. Kita sudah diberi akal untuk berfikir. Kalau bukan (karena) akal,  pastilah manusia itu seperti hewan. Sebuah pepatah  mengatakan demikian, kita harap itu benar. Mari kita berfikir. Supaya kita mendapat hidayah. Kemudian ‘diberi ilmu’, diberi hidayah. Karena ilmu bukan dari diri kita. Itu diberi. Kata-kata uutu –l’ilma, itu artinya diberi ilmu. Karenanya ia ditinggikan beberapa derajat oleh Allah. Dan itu  menambah alasan mengapa kita harus terus berfikir. Mengacalah! Pikirkanlah dirimu! Galilah kekuranganmu dan perbaikilah! Tapi janganlah lupa pada diri sendiri! Karena fitrahnya, kita tidak sempurna. Hal tidak wajar kalau kita sampai tidak bisa menemukan kesalahan satu pun dalam satu hari. Introspeksi itu penting! Jangan sampai terperosok dalam lubang untuk kedua kalinya! Saya pernah dapat pelajaran penting. Ini masalah menepati janji. Ingat! Janji itu hutang. Mengingkari janji salah satu tanda orang munafiq. Maqamnya hanya di Jahannam! Camkan itu! Murid saya pernah berjanji untuk menghubungi saya lewat video call di Skype. Saya memang ada urusan, sehingga  harus interview face-to-face. Ini berkenaan dengan salah satu proyek yang sedang saya kerjakan, kali ini rahasia. Oke. Mereka dengan mudah mengiyakan. Tak sadar kalau malaikat di samping mereka sedang menulis. Mencatat dengan detail setiap huruf dari ucapan mereka. Mereka mungkin tidak tahu. Entah karena kebeliaan atau ketidak tahuan mereka. Jangan-jangan tidak pernah diajari demikian, na’udzubi l-Laah! Mereka mengingkari janji itu, sudah pasti dengan ribuan alasan yang menurut mereka logis. Saya tetap tidak berfikir tidak. Mereka mungkin berfikir saya bisa dikelabuhi, saya tidak begitu. Memang tidak benar-benar marah, tapi perilaku mereka perlu diperbaiki. Sekali lagi, mungkin mereka belum tahu, belum diajari. Kami tatar mereka selama dua minggu, dengan harapan mereka berubah secara instan. Rupanya mereka belum sadar! Saya jadi bingung. Mereka terperosok kedua kalinya dalam lubang yang sama! Saya kadang merenung. Saya punya batas kesabaran. Apa saya yang salah? Sebisa mungkin segala kesalahan pertama kali saya kembalikan pada diri saya. Baru ke orang lain. Itu supaya saya bisa mengintrospeksi diri saya sendiri sebelum orang lain. Dari situ saya belajar. Bahwa kesalahan kedua itu lebih buruk, meski dalam bentuk sama. Keengganan menuju perubahan menandakan mereka masih enggan mengaku salah. Apalagi yang dipermainkan janji. Ini bukan hanya masalah saya dengan mereka. Ini hal yang perlu dipertanggung jawabkan di depan Tuhan! Kembali, saya katakan. Saya sangat menyesalkan. Mereka anak-anak yang cerdas, potensial, berprestasi, dan menjanjikan. Saya tidak tahu mengapa dalam case seremeh-temeh ini mereka jadi truly bad-behaviour. Saya doakan mereka berintrospeksi secepatnya. Kesalahan ini menjelaskan siapa mereka pada saya. Tidak banyak hal yang saya punya untuk menilai mereka. Tentu, itu membuat saya sangat marah. Kadang sedikit mengumpat-umpat dalam hati, kemudian beristighfar. Cuma ada satu yang mengganjal. Bisakah generasi guru masa kini mengatasi probematika akhlaq, perilaku, sikap yang sudah banyak tercemar belakangan ini? Kita semua takut itu membudaya. Mulai dari remeh-temeh nanti tumbuh menjalar jadi besar. Bad-culture. Kekhawatiran panjang ini justru lebih menjadi fokus bagi saya ketimbang case yang dalam hal ini sangat sempit. Kalau mereka nanti jadi munafiq? Itu sebabnya kita harus senantiasa waspada akan generasi muda. Walyahdzari l-ladziina lau tarakuu min khalfihim dzurriyyatan dhi’aafan. Dan takutlah orang-orang yang meninggalkan generasi yang rapuh di belakang mereka. Jelas, saya marah. Karena mereka telah melanggar syari’at. Melanggar janji. Karena saya sudah percaya mereka, namun dibalas khianat. Perubahan adalah hal yang diperlukan, tepatnya mereka butuhkan. Segala sesuatu ada ilmunya. Dan dari hal ini saya harap mereka turut belajar. Selagi mereka bisa ‘mikir’. Selagi mereka dikarunia ‘fikir’. Kalau tidak kita bisa kufur. Karena tidak mempergunakannya sebaik-baiknya. Supaya, saya, mereka, dan kita semua ‘diberi ilmu’ dan ditinggikan derajatnya. Ameen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun