Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan, bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Artinya setiap kehidupan di dalamnya wajib dijalani dengan berlandas hukum yang telah ditetapkan. Setiap warga negara pun berkedudukan sama dan wajib menaati seluruh aturan yang berlaku di negara ini. Indonesia sebagai negara hukum memberikan ruang bagi warga negara untuk turut serta dalam membangun masyarakat yang diharapkan. Sebab setiap kepentingan dan hak warga negara Indonesia akan dijamin dalam aturan resmi yang tertulis. Selain itu, warga negara Indonesia juga bebas menyampaikan pendapat atau keresahan-keresahan guna perbaikan bangsa. Di satu sisi, hukum dan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia juga dapat menjadi alat kontrol bagi pemegang kekuasaan untuk menciptakan integrasi di tengah masyarakat yang multikultur. Sebab hukum dan aturan yang berlaku pada gilirannya dapat menjadi penghalau munculnya disintegrasi akibat faktor-faktor yang masih dapat dikendalikan seperti kriminalitas.
Dalam Andrian (2020), kriminalitas didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan yang merugikan secara ekonomis dan psikologis serta melanggar hukum dan norma-norma yang berlaku dalam tatanan sosial dan agama di Indonesia.[1] Kriminalitas umumnya didasari oleh beberapa faktor seperti dorongan ekonomi, lingkungan sekitar, bahkan media massa. Di Indonesia sendiri, kriminalitas sudah melekat bak budaya. BPS Indonesia mencatat bahwa terjadi sebanyak 269.324 kejadian kriminal sepanjang tahun 2020 silam.[2] Pelakunya pun datang tanpa mengenal laki-laki atau perempuan, pejabat atau warga sipil, tua atau pun muda.Â
Selain hukum yang berlaku, di era yang serba cepat ini, media sosial --yang merupakan wadah baru untuk berinteraksi---menambah daftar kemudahan bagi setiap warga negara yang hendak memperjuangkan keadilan hukum, juga melanggarnya. Seperti kasus penipuan jual-beli tiket konser yang dilakukan oleh oknum-oknum di balik akun-akun anonim di Twitter. Simon Kemp (2022) mencatat bahwa hingga awal tahun 2022 silam, pengguna Twitter di Indonesia telah mencapai 18.85 juta jiwa yang usia penggunanya berkisar 13 hingga 30 tahun.[3] Secara laten, data ini menunjukkan bahwa media sosial Twitter sebagai anak dari teknologi ini begitu lekat dengan kehidupan pemuda.Â
Beberapa hari ke belakang, jagat Twitter dikejutkan oleh kasus scam yang dilakukan seorang musisi, Ray Viera Laxmana. Dalam laman Twitter pribadinya, pada 17 Maret 2023 silam pemuda asal Bandung ini mengunggah klarifikasi atas tindak penipuan jual-beli tiket konser band internasional, Arctic Monkeys yang akan digelar di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta.Â
Modus penipuan yang dipakainya ialah dengan menjual kembali tiket yang telah ia beli kepada puluhan korban, kemudian setelah mereka melakukan transaksi, Ray akan memutus kontak para korban dengan cara memblokir WhatsApp mereka. Melalui klarifikasinya, Ray mengatakan bahwa perbuatannya didasari oleh kebutuhan mendesak mengenai kesehatan orang tuanya. Ia juga menuliskan bahwa tindakan memblokir WhatsApp para korban ialah tindakan impulsif yang ia lakukan karena panik. Namun saat ditemui salah satu korban di kediamannya, orang tua Ray terlihat sehat. Dalam video yang diunggah korban saat melakukan mediasi di kediaman Ray, ia juga terlihat tidak merasa bersalah atas tindakannya tersebut.[4]Â Video mediasi korban scam oleh Ray Viera Laxmana Selanjutnya diketahui bahwa uang sejumlah 100 juta lebih yang dikumpulkan oleh Ray, digunakannya untuk bermain judi online. Sebelum kasus Ray naik ke publik, kasus penipuan online atau yang kerap dikenal dengan scam ini memang menjadi suatu hal lumrah di Twitter menjelang terselenggaranya suatu pertunjukan khususnya konser musik. Korban dan pelaku scam sebelumnya banyak datang dari penggemar boy dan girlgroup asal Korea Selatan, bahkan karena maraknya penipuan atas penggemar Kpop ini membuat pengguna Twitter lainnya menjadikan fenomena tersebut sebagai hal paling normal melalui guyonan seperti "selagi ava Korea masih sering kena tipu, dunia masih baik2 saja".[5]
Fenomena scam yang menargetkan kelompok pemuda penggemar (seorang atau kelompok) idola kebanyakan disebabkan oleh beragam faktor seperti adanya perasaan FoMO (Fear of Missing Out) di kalangan mereka. FoMO merupakan keadaan munculnya rasa takut atau tertinggal dari sesuatu yang mereka anggap berharga. Dalam konteks ini, idola dianggap (oleh kelompok penggemar) sebagai sesuatu yang berharga, kebanyakan dari kelompok penggemar takut tertinggal dengan teman sekelompoknya, sehingga kerap menghilangkan batasan saat hendak melakukan sebuah tindakan saat berkaitan dengan idolanya seperti tidak memeriksa track record penjual atau perjanjian jual-beli saat hendak membeli tiket konser dan menempatkan mereka sebagai korban. Di sisi lain, berdasar kasus Ray juga terindikasi FoMO akibat judi online seperti yang terlihat beberapa tweet meminta informasi slot judi online sebagai jejak digital di akun pribadi miliknya.[6]
Faktor lain yang menyebabkan adanya scam didasari oleh belum matangnya jati diri pemuda yang mengakibatkan mereka kerap melakukan segala hal untuk memuaskan rasa haus akan validasi atas dirinya baik dalam ranah positif ataupun negatif seperti tindak kriminal. Seperti yang dilakukan oleh Ray sebelum melakukan scam tiket Arctic Monkeys, ia juga kerap melontarkan lelucon yang lazim dilontarkan pengguna Twitter lain yang menyasar kelompok penggemar Kpop seperti balasannya "Nipu album korea mang" pada tweet milik @kelixman yang berbunyi "nyari duit 100 juta dalam seminggu dimana yak?"[7]
 yang saat itu lelucon-lelucon tersebut dianggap superior akibat maraknya kasus scam jual-beli album Kpop. Sehingga siapa pun yang menggunakan lelucon tersebut akan mendapat validasi dalam bentuk likes, comment, dan retweet serta dianggap sebagai seorang yang superior. Begitu pun dari sisi korban scam yang melakukan berbagai cara agar mendapat validasi sebagai penggemar sejati dengan turut serta dalam kegiatan atau acara yang berkaitan dengan idolanya seperti membeli album atau datang ke konser musik.