Mohon tunggu...
Atika Prabandari
Atika Prabandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

cita-citaku ngobrol sama nicholas saputra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keragaman Perspektif Sosiologi: Buah Pikiran Erving Goffman

10 Oktober 2022   21:11 Diperbarui: 10 Oktober 2022   21:12 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erving Goffman lahir di Alberta, Kanada pada 11 Juni 1922 dan wafat pada puncak ketenarannya sebagai seorang sosiolog di tahun 1982. Ia mengambil studi S1 di Universitas Toronto dan memperoleh gelar di Universitas Chicago. Meski dikenal sebagai tokoh pengembang perspektif Interaksionisme Simbolik, sebenarnya Goffman banyak dipengaruhi oleh pemikiran seorang antropolog bernama W.L Wamer. Dalam beberapa catatan, Goffman dinilai tidak mendalami perspektif tersebut, tetapi mengkritisinya. Namun dalam perjalanannya, Goffman dipengaruhi oleh hasil studi deskriptif pakar-pakar mahzab Chicago sehingga ia menyatukannya dengan pemikiran antropologi dan membentuk sebuah perspektif khusus. Walau begitu, Goffman telah memberikan sumbangsih besar pada perspektif interaksionisme simbolik.

Goffman menyoroti masalah yang berkaitan dengan interaksi sosial yang juga melibatkan simbol serta penafsiran dari para pelaku interaksi tersebut, di mana dalam pandangan Goffman, The Self (individu yang satu) dengan The Others (lawan interaksinya) mendapat perhatian yang setara. Pada perspektif interaksionisme simbolik yang dibawakan Goffman selalu mengacu pada konsep impression management, role distance, dan secondary adjustment. Selain itu, Goffman juga mengkaji bagaimana kasus interaksi antarmuka atau face to face interaction yang merupakan bagian dari mikrososiologi. Kajian terbesar dan yang paling banyak dikenal dari tokoh ini ialah Dramaturgi.

gb.2, Kenneth Duva Burke, perintis awal konsep Dramatisme, disadur dari laman wikipedia.org
gb.2, Kenneth Duva Burke, perintis awal konsep Dramatisme, disadur dari laman wikipedia.org

Dramaturgi lahir dari pemikiran seorang tokoh asal Amerika, Kenneth Duva Burke. Awalnya ia memperkenalkan konsep dramatisme yang menganalisis fungsi sosial dari bahasa dan drama dalam pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Dalam pandangan Burke, dramatisme memudahkan analisis motif tindakan manusia melalui bahasa. 

Oleh sebab itu, dalam pandangan dramatisme mengedepankan bahasa sebagai suatu simbol yang digunakan, dibanding sebagai sebuah pengetahuan yang diperoleh seorang manusia. Burke menolak anggapan bahwa hidup bagaikan sebuah drama, ia lebih setuju dengan pernyataan bahwa hidup adalah drama itu sendiri. Dari pandangan inilah kemudian Goffman tertarik untuk mengkaji dan menyempurnakannya melalui dramaturgi yang tercatut pada karyanya The Presentation of Self in Everyday Life. 

Konsep dramaturgi identik dengan pementasan drama yang dilakukan oleh seorang aktor dalam sebuah panggung, di mana aktor tersebut memainkan peran sebagai seorang tokoh lain (yang bukan dirinya) dan dipertontonkan kepada penonton, sehingga penonton dapat mengetahui karakter tokoh tersebut serta alur cerita dari drama yang dipentaskan. 

gb. 3, panggung depan pementasan Sudamala Calonarang, disadur dari laman liputan6.com
gb. 3, panggung depan pementasan Sudamala Calonarang, disadur dari laman liputan6.com

gb.4, persiapan di balik panggung pementasan Sudamala Calonarang, disadur dari akun instagram @anggaramahendra
gb.4, persiapan di balik panggung pementasan Sudamala Calonarang, disadur dari akun instagram @anggaramahendra

Dalam dramaturgi, terkenal dua konsep besar, yaitu Front Stage dan Back Stage. Oleh Goffman, Front Stage didefinisikan sebagai panggung depan, tempat seorang aktor memainkan perannya sebagai karakter lain dan memperlihatkannya kepada orang lain (penonton). Di dalam Front Stage, terdapat juga setting dan front personal, di mana setting adalah seluruh pemandangan fisik yang harus ada ketika aktor melakoni perannya, sementara front personal adalah perlengkapan yang digunakan oleh sang aktor guna mendalami peran dan memperkenalkan tokoh yang dilakoninya kepada para penonton. 

Contohnya, ketika seorang berlakon menjadi seorang polisi lalu lintas, maka front stage akan disetting dengan menampilkan jalan raya, sementara sang aktor akan mengenakan atribut khas polisi lalu lintas seperti baju polisi atau peluit (front stage). Sementara Back Stage, ialah tempat di balik panggung, yang merupakan tempat aktor menampilkan karakter aslinya tanpa diketahui oleh orang lain (penonton) juga tempat aktor mempersiapkan diri untuk melakoni peran.

gb.5, ilustrasi dramaturgi, disadur dari laman IBTimes.id
gb.5, ilustrasi dramaturgi, disadur dari laman IBTimes.id

Dari dua pokok tersebut, Goffman kemudian menekankan bahwa kehidupan manusia tak berbeda dengan konsep tersebut. Di mana, setiap orang akan berusaha menampilkan sisi terbaik atau menunjukkan gambaran yang sempurna di depan lawan interaksinya, kemudian menyembunyikan citra asli atau rahasia yang mereka miliki dari lawan interaksinya. 

Dalam melakoni perannya, Goffman mengemukakan bahwa seorang individu di dalam Front Stage akan terus melakukan Impression Management, yaitu usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan perannya sehingga lawan interaksi atau penonton tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Back Stage. Manajemen impresi dapat dilakukan dengan melakukan kontrol ekspresi dan suara serta menjaga kesadaran diri bahwa diri individu tengah menampilkan citra yang baik di depan lawan interaksinya, serta membuat skenario terlebih dahulu sebelum mengeksekusi lakon atau peran yang akan diperankan di depan umum.

Dalam gempuran era globalisasi yang mengharuskan individu berinteraksi melalui wadah baru yakni media sosial, kasus dramaturgi lebih banyak ditemukan, salah satunya saya pernah melakukan penelitian terhadap penggunaan emotikon yang dikirim kepada lawan interaksi tidak sesuai dengan ekspresi si individu di dunia nyata. 

Di mana, emotikon yang dikirimkan merupakan panggung depan atau front stage bagi si individu, yang ditujukan untuk memperlihatkan citranya di depan lawan interaksi. Sedangkan dirinya di dunia nyata adalah bagian dari back stage, di mana sang lawan interaksi tidak dapat melihat ekspresi asli sang individu.

Menurut Goffman, dramaturgi dilakukan oleh seluruh individu tanpa terkecuali dengan motif atau tujuan tertentu. Dalam melakukan dramaturgi, khususnya ketika berada di front stage akan ada hal-hal pendukung seperti tindakan, gaya, dan semacamnya yang dilakukan individu guna mendukungnya dalam membangun citra yang telah ia inginkan. hal tersebut itu dapat berbentuk tindakan yang spontan (we give on) atau hal yang telah dipersiapkan oleh sang individu (we give off) seperti gaya, manner, dan semacamnya. 

Namun, menurut Goffman ada beberapa hal di luar kendali individu yang kemudian membuat dramaturgi atau proses mencitrakan diri menjadi tidak berhasil sepenuhnya atau tidak mencapai tujuan yang sebenarnya, misalnya penggambaran karakter yang individu tersebut mainkan, apresiasi dari lawan interaksi yang tidak sesuai dengan harapan sang individu, hingga memainkan peran pada momentum yang tidak sesuai.

gb.6, ilustrasi seseorang dikucilkan setelah memberikan lelucon di tengah teman yang berduka, disadur dari laman tribunnews.com
gb.6, ilustrasi seseorang dikucilkan setelah memberikan lelucon di tengah teman yang berduka, disadur dari laman tribunnews.com

Contohnya ketika seorang individu menginginkan citra humoris, ia akan terus memberikan lelucon ketika sedang hang out bersama teman-temannya baik secara spontan atau lelucon yang disampaikan telah ia rencanakan sebelumnya. Namun, citra humoris ini akan hancur ketika teman-temannya menganggap bahwa lelucon itu tidak lucu, atau menganggap bahwa si individu berlebihan, atau ketika si individu membawa lelucon ketika di lingkungan pertemanannya sedang ada yang berduka. Maka individu ini akan dijauhkan atau dikucilkan dan citra yang diinginkannya gagal diperoleh. 

Lebih jauh, menurut Goffman, ketika seorang individu telah mencapai citra yang diinginkan kemudian citra tersebut telah melekat, maka akan terbentuk role distance atau jarak peran. Dalam fenomena ini, seorang individu akan hanya memainkan peran yang telah melekat dan memisahkan citra asli yang dimiliki oleh dirinya. Dalam pandangan Goffman, seorang individu yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih sering membangun jarak perannya. Hal ini disebabkan karena adanya penilaian yang lebih dan penghargaan dari orang lain di sekitarnya, sehingga ia tidak dapat bertingkah laku atau bercitra yang sama seperti kalangan yang lebih rendah.  

Demikian pembahasan mengenai Dramaturgi oleh Erving Goffman, mohon maaf jika terdapat kesalahan dan pemahaman yang keliru, semoga bermanfaat, dan sampai bertemu di tulisan selanjutnya! :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun