Mohon tunggu...
Atika Prabandari
Atika Prabandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

cita-citaku ngobrol sama nicholas saputra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Sosiologi dalam Pandangan George Ritzer

5 September 2022   00:31 Diperbarui: 5 September 2022   00:39 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah paradigma dikenalkan oleh fisikawan Amerika, Thomas Samuel Kuhn, yang kemudian dipopulerkan kembali oleh Robert Friedrichs dalam Sociology of Sociology (1970). Menurut Kuhn, Paradigma merupakan cara melihat atau mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh Mode of Thought atau Mode of Inquiry tertentu yang kemudian menghasilkan Mode of Knowing yang spesifik. Menurutt Kuhn, paradigma merupakan suatu gambaran yang fundamental dari pokok bahasan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma menentukan apa yang harus dipelajari, dipertanyakan, sampai aturan-aturan bagaimana yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaaban-jawaban yang diperoleh. Dengan kata lain, paradigma merupakan bagian terluas dari konsensus-konsensus ilmu pengetahuan dan membedakan komunitas ilmu satu dengan yang lain.

Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution mengemukakan bahwa ilmu tak selalu berjalan lurus. Oleh sebab itu, menurutnya perkembangan ilmu tidak serta merta bersifat kumulatif. Menurutnya, suatu keilmuan dipengaruhi oleh dominasi paradigma yang berkembang dalam kurun waktu tertentu. hampir sejalan dengan Kuhn, George Ritzer menilai terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan paradigma, di antaranya ialah : 

  • Perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran
  • Perbedaan teori yang merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan filsafat
  • Metode yang digunakan untuk memahami atau menerangkan substansi ilmu tersebut

Meski paradigma memiliki perbedaan, perbedaan ini tidak selalu berkonotasi negatif dengan adanya perbedaan paradigma maka akan memperkaya keragaman ilmu pengetahuan sebab, perbedaan paradigma menandakan adanya dinamika atau dialektika sebuah ilmu pengetahuan. 


Perbedaan paradigma juga terdapat pada ilmu Sosiologi. Menurut Ritzer, perbedaan dalam paradigma ilmu ini terletak pada objek kajiannya. Sehingga Ritzer menyatakan bahwa paradigma Sosiologi terbagi menjadi tiga, yakni : 

1. Paradigma Fakta Sosial 

Paradigma ini berangkat atas pemikiran Durkheim yang sekaligus antitesis dari pandangan Auguste Comte dan Herbert Spencer yang menyatakan bahwa pokok bahasan dalam Sosiologi adalah ide atau pemikiran. Sementara menurut Durkheim, Ide atau pemikiran terletak di dalam diri individu sehingga tidak dapat dipandang, dengan begitu menurutnya tidak terdapat perbedaan antara Sosiologi dengan ilmu Filsafat. Fakta sosial dinilai lebih tepat menjadi pokok bahasan dalam Sosiologi, karena fakta sosial dibentuk melalui pengamatan serta penyusunan data yang tidak bias dengan pemikiran individu. Dalam paradigma ini,  struktur dan institusi sosial berdiri sendiri dalam memengaruhi pemikiran dan tindakan yang akan dilakukan oleh individu. Jadi, para ahli dalam paradigma ini memusatkan kajian pada bagaimana pengaruh struktur sosial dengan individu, dan institusi sosial dengan individu. Fakta sosial dibagi menjadi dua ranah, yaitu fakta sosial material (terdiri atas sesuatu yang dapat diamati, dilihat, dan dipahami) misalnya seperti bentuk bangunan, aturan, dan hukum. Kedua, Fakta sosial non-material (ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam diri individu atas fakta sosial materialnya) seperti kesadaran, moralitas, egoisme, altruisme, serta opini. Teori yang mendukung paradigma ini adalah struktural fungsionalis, teori konflik, teori sistem, dan teori-teori sosiologi makro lainnya.

a. Teori Struktural Fungsional 

Teori ini lahir atas pemikiran tokoh-tokoh seperti Comte dan Spencer. Dalam teori ini, masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis, masyarakat layaknya organ-organ yang saling membutuhkan untuk tetap bertahan hidup. Teori ini mengutamakan social order dan mengabaikan konflik, jadi masyarakat bergerak dalam kondisi statis dan seimbang. Kelemahan teori ini adalah sifat tertutup pada perubahan sosial, karena terpaku pada order dan kemapanan struktur yang sudah formal, juga pada struktur yang mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang lain.

b. Teori Konflik 

Teori konflik adalah antitesis dari teori fungsional struktural, menurut teori ini masyarakat berada dalam kondisi yang tidak seimbang dan ditandai oleh pertentangan atau konflik. Jika teori fungsional struktural memandang bahwa keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka teori konflik menilai bahwa keteraturan terjadi karena adanya paksaan dari pihak yang berkuasa. Kelemahan dalam teori ini adalah menolak keseimbangan dan terlalu menekankan perubahan dalam konteks konflik.

Metode yang banyak digunakan dalam paradigma Fakta Sosial ini adalah wawancara dan kuisioner. 


2. Paradigma Definisi Sosial 

Dilandasi oleh pemikiran Max Weber mengenai tindakan sosial. Jika paradigma fakta sosial memisahkan struktur dan institusi sosial dalam fenomena sosial, sebaliknya, menurut Weber, antara struktur dan institusi sosial merupakan kesatuan yang membentuk tindakan manusia dengan penuh makna. Tindakan sosial merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu kepada orang lain, di mana tindakan tersebut memiliki makna subjektif yang hanya diketahui oleh si pemberi tindakan. Maka, tindakan yang tidak ditujukan kepada orang lain, bukanlah tindakan sosial (misalnya bernyanyi di dalam kamar mandi). Menurut weber, perkembangan struktur dan institusi sosial, harus melihat tindakan individu. Karena tindakan individu atau manusia tidak terlepas dari struktur dan institusi yang ada di sekitarnya. Jadi menurut weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan hingga kepada penjelasan kausalnya (sebab-akibat), oleh karena itu paradigma ini disebut sebagai paradigma interpretatif. Teori yang mendukung paradigma ini adalah teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi. 

a. Teori Aksi 

Menurut weber, seseorang melalukan tindakan sebab mendapat stimulus sehingga seorang individu yang bertindak, memiliki sebuah tujuan. Berdasar pada prinsip rasionalitas, Weber mengelompokkan tindakan menjadi empat. yaitu : 

- Tindakan Rasional Instrumental, di mana seseorang bertindak sebab memiliki tujuan dan harapan yang hendak dicapai,

- Tindakan Berorientasi pada Nilai, di mana seseorang bertindak sebab sadar bahwa terdapat nilai yang penting, misalnya agama, estetika, dll,

- Tindakan Afektif, di mana seseorang bertindak berdasar kondisi kejiwaannya, biasanya bersifat spontan, dan kurang rasional, 

- Tindakan Tradisional, merupakan tindakan yang tidak rasional, tetapi masih dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Biasanya tindakan tersebut telah mendarah daging dan diwariskan secara turun-temurun. 

Kelemahan teori ini adalah cenderung fokus pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivismenya.

b. Teori Interaksionisme Simbolik

Awalnya dicetuskan karena kemandekan aplikasi teori aksi atau pengembangan dari teori tersebut (sintesis teori). Teori ini emfokuskan hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi. Terdapat beberapa prinsip dasar dalam teori ini di antaranya adalah manusia yang memiliki kemampuan berpikir, kedua kemampuan berpikir tersebut merupakan produk dari interaksi sosial (semakin banyak berinteraksi, kemampuan berpikirnya semakin berkembang), yang ketiga, dalam setiap interaksi, individu mempelajari simbol dan makna yang memungkinkan mereka untuk menggunakan kemampuan berpikirnya. Selanjutnya, setiap individu mampu memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan. Kemudian, setiap individu mampu menentukan tindakan yang akan dilakukan setelah menafsirkan situasi. Terakhir, dari interaksi tersebut, individu menciptakan kelompok atau bahkan masyarakat yang didasarkan pada persamaan simbol dan makna yang dimiliki. Kelemahannya mengabaikan komponen makro (nilai, norma, hukum, institusi) dan hanya fokus pada komponen mikro.

c. Teori Fenomenologi

Memandang bahwa tindakan manusia menjadi hubungan sosial jika individu memberi arti dan makna, sementara individu lain memahami arti tersebut. Teori ini mencoba mengatakan bahwa manusia mampu menciptakan dunianya sendiri dengan memberikan arti pada perbuatan-perbuatan tertentu. Teori ini muncul sebagai reaksi dari anggapan yang mengatakan bahwasanya manusia dibentuk oleh kekuatan sosial yang mengitarinya. 

d. Teori Etnometodologi 

Teori ini berusaha mengungkap realitas dunia kehidupan dari individu atau masyarakat. Dikenal dan dikembangkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1950an. Teori ini mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna sosial masyarakat berdasar perkataan dan ucapan masyarakat baik secara eksplisit atau implisit (pendekatannya komunikasi).

Metode yang digunakan dalam paradigma Definisi Sosial ini ialah metode penelitian empiris, seperti observasi. 

3. Paradigma Perilaku Sosial 

Berbeda dengan kedua paradigma sebelumnya, menurut paradigma ini, objek kajian sosiologi yang konkret adalah perilaku manusia atau individu yang terlihat dan kemungkinan pengulangannya. sebab Perilaku individu dan masyarakat dapat berubah seiring perubahan struktur dan institusi sosial. Oleh karena itu, tingkah laku manusia di paradigma ini tidak bebas karena ditentukan oleh struktur dan institusi yang berlaku. Paradigma ini dikembangkan oleh B.F Skinner, yang berusaha memasukkan unsur Psikologi ke dalam ranah Sosiologi. Bagi Skinner, struktur dan institusi bersifat mistik atau objek yang terjadi dalam pemikiran manusia, sehingga tidak tepat untuk menjadi objek kajian Sosiologi. Teori yang mendukung paradigma ini adalah teori behavior sosiologi dan teori pertukaran. 

a. Teori Behavior Sosiologi 

Menekankan hubungan historis antara akibat perilaku yang terjadi dalam lingkungan individu dengan tingkah laku yang sekarang. Dengan kata lain, mempertanyakan apakah suatu perilaku yang pernah dilakukan seseorang di masa lalu mempengaruhi perilaku akan dilakukan di masa kini atau di masa yang akan datang 

b. Teori Pertukaran 

Teori ini dikembangkan oleh George Homan, yang berangkat pada asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan menerima kembali dalam jumlah yang sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dalam teori ini, yang pertama individu akan semakin sering melakukan tindakan yang dinilai menguntungkan (penilaian dari individu tsb), kedua jika di masa lalu terdapat stimulus yang memberi ganjaran positif bagi si individu, maka dia akan melakukan itu terus. selanjutnya, makin tinggi apresiasi, makin banyak dilakukan. Kemudian, makin sering dapat ganjaran dlaam waktu yang berdekatan, ganjaran tsb akan kurang bernilai ganjarannya. Terakhir, jika tindakan yang dilakukan tidak mendapat ganjaran yang diharapkan, akan menimbulkan kecewa dan tidak akan dilakukan lagi.

Metode yang digunakan dalam paradigma Perilaku Sosial ini juga lebih banyak dibanding dengan dua paradigma sebelumnya, yaitu melalui kuisioner, wawancara, dan observasi, tetapi karena fokus penelitian bersifat individual maka metode yang paling sering digunakan adalah eksperimen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun