Penguasa merupakan seorang yang mempunyai otoritas, memegang kendali pada suatu kelompok masyarakat. Penguasa memiliki wewenang terhadap yang dipimpinnya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang memegang kendali terhadap semua subsidi dan bertanggung jawab atasnya. Rakyat adalah objek atau target pendistribusian subsidi tersebut. Bisa dikatakan rakyat memiliki hak penuh terhadap pemenuhan hak dirinya.
Pada hakikatnya penguasa sebagai alat yang di gaji oleh rakyat untuk memimpin serta memikirkan kemajuan suatu negara. Ditugaskan oleh rakyat Indonesia untuk berpikir bebas dalam membuat kebijakan demi negara yang makmur dan sejahtera. Namun, sebahagian penguasa tidak menyadari itu. Mereka berpikir mereka adalah penguasa tunggal yang tiada siapa pun yang berhak mengaturnya. Beranggapan bahwa penguasa adalah yang tertinggi dan rakyat tetaplah bawahan. Padahal, pemegang atau pemilik kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah rakyat. Demokrasi yang merupakan pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kesewenang-wenangan sebahagian besar penguasa dapat dilihat pada ajang pendistribusian subsidi untuk rakyat. Rakyat memiliki hak untuk dilayani oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia banyak membuat program kerja untuk kesejahteraan masyarakat, seperti penyaluran dana bantuan apa pun yang berkaitan dengan hak masyarakat. Adanya pembuatan target ini diutarakan oleh penguasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, target pendistribusian subsidi tidak selamanya sesuai realita. Rakusnya penguasa menjadi faktor utama dalam fenomena tersebut.
Hak rakyat yang seharusnya disalurkan sepenuhnya, kini sebagian atau lebih dikantongi oleh penguasa demi kepentingan pribadi. Korupsi adalah racun yang sesungguhnya tidak pernah hilang dan selalu merambat dan menyebar pada kalangan penguasa. Budaya korupsi yang sudah mendarah daging. Korupsi menjadi problema pada berbagai negara yang tidak mudah untuk dikurangi apalagi menghilangkannya yang sungguh hampir tidak mungkin. Hal ini berkaitan dengan internal pribadi penguasa yang tamak atau rakus akan duniawi. Entah apa yang merasuki kepalanya sehingga ia tega memperlakukan sesamanya begitu demi kepentingan pribadi. Fenomena korupsi tersebut terjadi akibat bertemunya kesempatan dan kekuasaan. Hal ini yang menjadikan rakyat sebagai anak tiri pada tempat tinggalnya sendiri.
Penguasa dianggap tidak pernah berpihak pada rakyat. Sebahagian penguasa pada dasarnya sebagai elemen yang mengambil hak rakyat. Sesungguhnya hal ini tidak bisa dipungkiri pada masa dewasa ini. Korupsi ini termasuk salah satu budaya buruk tertua yang usianya setua dengan manusia itu sendiri. Pada masa dewasa ini manusia dilanda kehidupan yang materialistik. Budaya konsumtif yang terus meracuni isi kepala para penguasa, sehingga mereka begitu mudahnya meraup hak rakyat tanpa memikirkan penderitaan rakyat. Dorongan akan menjunjung tinggi hal yang profan inilah yang sulit untuk dibenahi. Ketergodaan akan dunia materi yang begitu menggelora tanpa dibentengi oleh hal yang bersifat sakral. Artinya adalah tiada pemahaman penguasa dalam hal menjunjung tinggi etika dan moral sehingga mereka menghalalkan segala cara demi tujuan yang bersifat profan (duniawi).
Lantas apakah korupsi ini sudah menjadi budaya yang tak luput dari seorang manusia secara turun temurun sehingga menjadikannya sebagai budaya dinasti, alias bisa dikatakan bahwa korupsi ini berasal dari nenek moyang seluruh umat manusia yang mengalir dan menurun kepada keturunannya secara geneologis. Jawabannya bisa dilihat melalui fenomena-fenomena yang memperlihatkan banyak seorang penguasa melakukan korupsi. Ini bisa dikatakan budaya, bagi mereka (penguasa) yang tidak memiliki sandaran atau hal yang ditakuti di negaranya, bahkan Tuhan sekalipun mereka palingkan atau tidak mereka takuti. Namun, tidak bisa dikatakan seluruh nenek moyang bangsa Indonesia adalah seorang korupsi. Masih ada penguasa atau pejabat yang menjunjung tinggi hal yang sakral, mengedepankan etika dan moral serta memiliki keyakinan akan pertanggung jawaban terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Hal ini menimbulkan beberapa persepsi yang memerlukan kajian lanjutan.
Korupsi sudah menjadi wabah yang hanya memiliki medikasi  tanpa ada memiliki suatu alat mitigasi. Artinya adalah korupsi hanya memiliki hukuman yang sebagai netralisir atau menghilangkan yang sudah terkena atau terpapar tanpa ada mempunyai suatu hal yang dapat mencegah adanya korupsi yang bersifat efisien dan signifikan. Walaupun dalam penegakan hukum tersebut terbilang tidak bisa dipercaya. Alias adanya intervensi terhadap instansi penegakan hukum yang mempengaruhi pemberantasan korupsi. Pembentukan lembaga Pemberantasan Korupsi seperti KPK pun tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan, selalu ada atau banyak kasus korupsi yang dipandang dan dihukum sesederhana mungkin alias tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang menginginkan hukuman yang dibuat untuk membuat jera para pelaku. Kondisi faktual budaya korupsi inilah yang terjadi di Indonesia.
Pada hakikatnya, para penguasa ialah kalangan orang berilmu yang memiliki pemikiran-pemikiran yang dibutuhkan negara. Disebalik ilmu tersebut yang dibuktikan dengan fenomena-fenomena dewasa ini, mereka mengimplementasikannya tidak sepenuhnya pada negara. Adanya istilah cadiak buruk dari istilah orang Minangkabau yang menggambarkan seorang yang diyakini berilmu namun mengingkari ilmunya tersebut. Pada dasarnya ilmu ialah pengetahuan yang di share atau diperoleh melalui cara tertentu dan bersifat axiologi, yakni bermanfaat bagi siapa pun. Namun, penguasa menggunakan kecerdasan intelektualnya tersebut untuk menjadikan dirinya penguasa tunggal, berlomba-lomba dalam memanjakan diri serta menafikan kepentingan dan hak orang lain sehingga membuat orang lain tersebut menjadi terzholimi atau dicurangi. Hal inilah yang disebut sebagai pengingkaran terhadap etika ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H