Mohon tunggu...
Rachma Hadiyanti
Rachma Hadiyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Totalitas menjamin kualitas. Hidupnya mirip Gunung Es. Apa yang terlihat seringkali ukurannya hanya sepersekian dari ukuran keseluruhan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

AFTA 2015 untuk Indonesia, Berguna atau Malapetaka?

30 Maret 2014   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini merebak pembicaraan tentang AFTA 2015 di berbagai media. Apa sih, AFTA? ASEAN Free Trade Area atau kawasan perdagangan bebas se-Asia Tenggara adalah hasil dari kesepakatan bersama yang telah dibuat sejak tahun 1992 oleh masing-masing kepala negara anggota ASEAN yang menjabat pada masa itu.  Dengan adanya kesepakatan ini, masing-masing negara yang menjadi bagian dari ASEAN dapat melakukan ekspor dan impor bahan baku atau hasil produksi tanpa dikenai biaya pajak. Hal ini tentunya dapat memangkas harga jual barang-barang hasil produksi dan meningkatkan daya saing antar produsen—tak hanya dari dalam negeri, namun juga dari negara lain, sehingga para konsumen semakin variatif dalam membeli suatu jenis produk.

Realisasi AFTA dibuat bertahap dalam jangka waktu 15 tahun. Puncaknya jika AFTA sudah terealisasi, maka kita akan melihat barang dagangan bukan lagi didominasi oleh made in China melainkan oleh made in Brunei, made in Thailand, made in Malaysia, dan negara-negara ASEAN lainnya. Lantas, dimana keberadaan barang made in Indonesia?

AFTA sejatinya bisa memberi celah bagi para pelaku usaha di Indonesia untuk melebarkan sayap, memasarkan hasil produksinya ke negara lain dengan cap made in Indonesia. Diharapkan dengan AFTA, barang hasil produksi Indonesia dapat dipasarkan dengan baik di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Dari sana pula, harapan permintaan jumlah barang akan bertambah, sehingga lapangan kerja akan melimpah karena perusahaan butuh tambahan tenaga kerja yang mumpuni guna memenuhi permintaan barang.

Namun AFTA bak memiliki dua sisi yang berlawanan. Dibalik kegunaannya, AFTA juga juga dapat digunakan sebagai dalih atas penggunaan tenaga kerja impor, alih-alih menggunakan tenaga anak bangsa, perusahaan justru mendatangkan tenaga kerja dari luar yang bisa dibayar lebih murah, dan dianggap lebih berkualitas. Seperti tenaga kerja dari Filipina dan Thailand. Hal ini bisa menimbulkan polemik tersendiri di samping masalah lainnya seperti kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, hingga pengaruh terhadap kestabilan ekonomi negara.

Berawal dari masalah ini, saya harap kita tidak berpikir untuk belajar giat dan meraih ilmu setinggi mungkin untuk mendapat pekerjaan. Pola pikir seperti ini sudah saatnya diregenerasi—digantikan dengan pikiran giat belajar dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk membuka lapangan pekerjaan. Sebab dari pola pikir inilah kita dapat menentukan, AFTA 2015, berguna atau malapetaka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun