Secara resmi sejak 11 Oktober lalu, penerbitan Sertifikat Halal tak lagi di tangan MUI. Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJPH) yang akan mengurusi secara penuh tanggung jawab keluarnya Sertifikat Halal produk yang beredar. Pembentukan BPJPH tersebut sekaligus memindah tugaskan peran penuh MUI setelah 28 tahun menerbitkan Sertifikat Halal, tetapi benakah kemudian MUI disingkirkan?
Untuk menjawab itu, sumber utama yang menjadi rujukan semestinya kita menelaah pada landasan hukum terbentuknya BPJPH yakni UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam undang-undang tersebut sangat jelas kalau pemerintah tidak menandaskan MUI dari penerbitan Sertifikat Halal. Justru, MUI menjadi 'jantungnya' penerbitan Sertifikat Halal yang saat ini dipegang oleh BPJPH. MUI menjadi pengetuk palu (fatwa) halal tidaknya produk yang diregistrasi ke BPJPH, MUI juga menjadi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang menjadi dasar fatwa halal-tidak halal diputuskan.
Nah, soal urusan administrasinya, pengawasan, penegakan hukumnya dan wewenang pencabutan inilah yang kemudian dipegang pemerintah melalui BPJPH di bawah Kementerian Agama.
Lantas dipertanyakan, mengapa pemerintah harus membentuk BPJPH padahal sudah ada MUI?
Amanat UUD 1945 bahwa pemerintah harus menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan agamanya lebih khusus memberikan kenyamanan keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk.
Setidaknya ada tiga hal utama peran BPJPH. Pertama, menjamin produk halal yang beredar dengan menerbitkan Sertifikat Halal yang wajib menyertakan label halal dalam produk dan semua produk yang akan beredar wajib mendaftarkan kehalalannya ke BPJPH . Sebelumnya, hal ini belum dilakukan MUI artinya pemerintah benar-benar memberikan penjaminan maksimal bagi rakyatnya. Jika kasusnya ditemukan pelaku usaha yang nakal tidak menyertakan label halal pada produk, ada sanksi khusus diberikan oleh BPJPH pada pelaku usaha, ini poin penjaminan kedua.
Peran kedua, pemerintah melalui BPJPH mewajibkan pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan, wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Dari sini jelas, konsumen (rakyat) akan mengetahui produk yang mengandung bahan tidak halal. Ini penjaminan ketiga!
Ketiga, produk-produk dari  luar negeri tidak akan sembarangan masuk ke Indonesia dan beredar bebas. Produk dari luar negeri tersebut harus teregistrasi di BPJPH kehalalannya. Itupun, Sertifikat Halal yang telah diperoleh oleh produk dari luar negeri harus dari lembaga yang sudah melakukan kerja sama saling pengakuan dengan Indonesia. Jika tidak punya, gak boleh masuk Indonesia. Ini penjaminan keempat  bagi rakyat.
Dari sana kita bisa lihat, ternyata MUI tetap berperan penting bahkan peran yang krusial dalam memberi fatwa halal dan haram suatu produk yang mengajukan permohonan ke BPJPH. Bahkan Ketua MUI Ma'ruf Amin seperti dimuat Okezone.com (11/10), menyatakan MUI sebelumnya hanya memiliki wewenang menyelenggarakan sertifikasi halal bagi produk secara voluntary dan belum secara mandatory. Sementara pengawasan dan penegakkan hukum itu ada di luar MUI.
Sementara kini, BPJPH bertanggungjawab secara penuh menjamin produk halal dari proses penerbitan hingga pengawasan. Ketua MUI juga menegaskan dukungan penuhnya atas penyelenggaraan Sertifikat Halal di bawah BPJPH.
Lantas, ngapain ribut-ribut?*