Makanya kutunggu sampai jam 15.20 baru itu acara reog Ponorogo dimulai dan seperti yang aku tahu harus aku liput yang ada Singa Barongnya.
Itu adegan paling khas di reog, ketika dua Singa Barong menari-nari yang memiliki tingkat kesulitan tinggi serta berbahaya, karena perlengkapan topeng singa barong dengan berat puluhan kilo harus dimasukkan di kepala dan leher yang kalau tidak terlahir bisa saja terjadi trauma leher berat yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau malah kematian.
Reog adalah tarian tradisional dari Ponorogo, Jawa Timur dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan hiasan bulu merak, dengan berat topeng mencapai 50–60 kg.
Ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping dan Reog asli dari Indonesia.
Pada 3 Desember 2024, seni pertunjukan Reog Ponorogo masuk dalam daftar UNESCO sebagai Warisan budaya takbenda.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kerajaan Daha, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singa Barong dari Kerajaan Daha.
Pasukan Raja Singa Barong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo, Raja Klono dan Wakilnya Bujang Ganong, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan.
Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Daha dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya (wiki pedia ).
Nah, yang saya tonton ini adalah Reog Ponorogo versi Palembang, mungkin tidak sama dengan yang asli dari Ponorogo, tetapi sebagai pertunjukan seni saya pribadi termasuk betah menyaksikan acara ini dari pukul 15-an sampai pukul 17-an.
Tetapi karena hari mulai gelap, sayapun mohon pamit dengan tuan rumah dan pulang dengan "happy" tentunya dapat bahan tulisan satu lagi di Kompasiana.Â
Nyari ide tulisan akhir tahun begini susah, Bro.