Jangan berpikir 17 surat cinta yang dimaksud disini adalah kata-kata puitis seorang pencinta alam kepada seorang pembenci alam, tetapi ini adalah 17 kali orang-orang yang peduli terhadap kerusakan hutan di Aceh, terutama di hutan larangan Rawa Singkil dimana tempat orang utan terpadat di dunia, lalu di Boven Digoel, Papua dan beberapa kawasan lain misalnya pulau Kalimantan, membuat surat ke pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup yang ditembuskan ke Presiden dan beberapa instansi lain dan menurut mereka di dokumenter ini tidak ada jawaban yang memuaskan.
Film yang disutradarai oleh Dhandy Laksono dan diproduseri oleh Ekspedisi Indonesia Baru menyoroti bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan di Aceh dan daerah lain yang terjadi bertambah sering akibat kerusakan alam terutama kawasan hutan disana yang berganti menjadi kebun sawit atau pertambangan batubara.
Beberapa data diambil dari kesaksian penduduk yang mengatakan dulunya daerah yang bisa mereka bersawah, sekarang tidak bisa lagi karena seringnya banjir yang tidak bisa diprediksi. Ada juga data-data satelit tentang kerusakan hutan yang bertambah ribuan hektar setiap tahun dan mereka juga mengkonfirmasi dengan pengambilan gambar melalui  drone.Â
Insiden konflik antara manusia dan hewan juga semakin sering akibat margasatwa tersebut kesulitan mencari makanan di hutan yang rusak atau memang tempat mereka tinggal sudah hancur dan harus bermigrasi yang terpaksa melewati pemukiman penduduk. Ini semua tidak pernah terjadi belasan tahun lalu saat hutan masih ada.
Upaya mengingatkan pemerintah terus-menerus dilakukan dan beberapa langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan ini dengan beberapa aturan main tampaknya tidak membuah perbaikan secara significant.Â
Dan setelah belasan surat pengaduan atau surat "curhat" dan beberapa demonstrasi kurang ditanggapi akhirnya film dokumenter ini dibuat dan secara serentak di beberapa kota diadakan nontong bareng, termasuk di Palembang di Universitas IBA Palembang , jalan Mayor Ruslan.
Sebagai utusan Kompasianer Palembang ikut bangga saat Kompasianer lainnya ibu Kartika dan Pak Agus yang suami istri ternyata panitia acara ini, karena Bikcik Tika, panggilan akrab kami dengan si ibu dosen, adalah pengajar disini.Â
Sebagai narasumber di diskusi film ada dosen hubungan internasional UNSRI, Ferdiansyah Rivai yang menjelaskan bahwa deforestasi adalah konsekuensi dari pembangunan yang berorientasi ke ekonomi padat modal yang menyerap tenaga kerja sedikit misalnya pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.Â
Narasumber kedua yang hadir dari lokal Palembang adalah seorang pembuat film atau videografer profesional Ari Priyanto yang membahas cinematografi dan cara mengambil bukti otentik melalui foto drone ataupun foto-foto biasa, sah-sah saja di film dokumenter karena menjadi kekuatan pembuktian dari misi yang ingin disampaikan.
Selain narasumber lokal juga diadakan diskusi melalui zoom meeting dengan pemeran wanita di film dan pihak pembuat film. Mereka menjelaskan bagaimana proses riset lalu pengambilan gambar, kesulitannya dan lain sebagainya.
Moderator diskusi ini seorang jurnalis Tasma Linda memancing pertanyaan dari para peserta yang kebanyakan mahasiswa yang butuh sertifikat ikut kegiatan ekstrakulikuler, dan tercetuslah beberapa pertanyaan bagus dan ada juga beberapa pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tidak perlu dijawab juga dia tidak bakal nangis.
Sebagai perwakilan kompasiana, saya pun mengajukan sebuah pertanyaan penting tentang etika sebuah jurnalisme investigasi seperti ini, yaitu apakah sudah diupayakan crosschseck informasi dan data-data yang didapat oleh pembuat film ini kepada pihak-pihak terkait?
Sebenarnya surat-surat cinta mereka yang 17 buah dan kabarnya akan terus dilanjutkan walaupun pemerintahan sudah berganti, itu adalah upaya mengkonfirmasi dari pemerintah tentang komitmen keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan hidup, tetapi memang sebaiknya ada adegan di film ini dimana para pemain mewawancarai perusahaan yang diduga merusak hutan secara langsung atau tidak langsung, ataupun upaya untuk audiensi ke Kementrian Lingkungan Hidup walaupun nanti jawabannya "No comment" ataupun "No time for you".Â
Kalau adegan itu terekam, maka lengkaplah kesan bahwa film ini menjalankan azas jurnalisme investigasi yang berimbang.
Tetapi ada bagusnya juga pihak berseberangan dari film ini membuat film tandingan sebagai klarifikasi bahwa mereka tidak sejahat bajak laut atau teroris dan ada upaya-upaya rehabilitasi lahan dan sebagainya. Ya kita tunggu saja.
Sedihnya, sepertinya lima tahun ke depan proses deforestasi tetap berlanjut karena terkesan terjadi pembiaran akibat penguasa dan pengusaha sepertinya berada di gerbong yang sama dan mungkin hanya akan terjadi perbaikan bila nanti ada pemimpin yang berlatar belakang pencinta alam dan sangat berkomitmen kepada green economy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H