"Inilah pembaca cerpen keempat di Story Slam Kompasiana siang ini..." Kata si mbak moderator yang baru tahun ini aku lihat di Kompasianival. Hampir tiap tahun aku hadir di acara ini untuk menggali keterampilan menulis dan membuat konten.Â
Si cantik ini bercerita tentang pemuda yang mendapat inspirasi dari seorang pemulung.
Terpikir di hati kenapa dia yang secantik artis sinetron masih terpikir bikin cerita pendek dan bukannya cukup bikin story di instagram yang dengan kecantikannya minimal ada 5000 cowok menontonnya?
"Literasi tulisan lebih merangsang imajinasi, mas. Kalau video terlalu gamblang, tak ada imajinasi dan hayalan disana dan aku tidak mau menghilangkan hak preogratif para penghayal di Indonesia dengan sorot video yang terlalu realistis. Tanpa seni interpresi dan seni obsesi. Aku ingin tetap berekspresi maksimal tanpa batas." Kata si cantik.
 " Waw, amazing. Ini sangat luar biasa. Lalu apakah aku bisa minta kita foto bersama?" Tanyaku penasaran. Walau tak memungkinkan mendekati si cantik karena memang tak bisa lagi, you knowlah ya, minimal ada kenang kenangan bersama.
"Kita boleh ada kenang-kenangan bersama tetapi jangan video atau foto, ya?" Kata si cantik.
"Lho, jadi diapain?" Tanyaku penasaran.
" Dilukis atau dicerpenin saja atau dipuisikan saja. Karena saya tidak mau kebersamaan kita dibatasi gambar real. Harus tetap ada imajinasi disana." Dia tersenyum dan akupun yang tak bisa melukis serealis itu, terpaksalah mengalah, hanya bisa kubuat cerpen ini sebagai ganti.
Ah.....Bahagianya, karena si cantik akuÂ