Apa yang anda pikirkan mengenai Pulau Enggano?
Ya, sebagai salah satu pulau terluar di sisi barat Indonesia selepas pantai Samudera Hindia, sejauh 12 jam perjalanan laut dengan kapal feri dari Bengkulu atau 40 menit dengan pesawat terbang perintis yang hanya memuat 14 orang dan hanya ada hari Selasa dan Jumat maka terbayanglah kita akan terisolasi 5 hari disana dalam kondisi sangat memprihatinkan.Â
Tetapi kenyataannya tidak semengerikan itu. Dimulai saat tanggal 4 Agustus 2022 lalu saya ikut rombongan pendeta Jhon Warso Siahaan, sekertaris HKBP Distrik XV Sumbagsel dan Richard Silaen, tim Multi Media Distrik 12 jam dari Palembang ke Bengkulu melalui jalan darat pukul 13 sampai pukul 1 dini hari tanggal 5-nya, lalu istirahat beberapa jam di hotel Amaris Bengkulu. Pukul 9 pagi, kami bergabung dengan Praeses (setingkat gubernur kalau di pemerintahan) Distrik XV Sumbagsel, pendeta Oloan Nainggolan dengan ibu dan pendeta Resort Enggano yang akan dilantik Ranto Roy Simanjuntak dan seorang pengacara muda Ralan Tampubolon yang ingin menyaksikan pelantikan tersebut di HKBP Lingkar Barat Bengkulu.
Dari sana, kami diantar oleh beberapa relawan lintas agama yang dipimpin pak Sugi yang menjadi teman baik pendeta Roy untuk memudahkan proses "check in" ke pesawat Susi Air dan berangkatlah kami pukul 11.25 dari bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu.
Lalu tepat 40 menit kami sampai di Bandara Enggano dan disambut oleh jemaat gereja HKBP Resort Enggano yang ada 3 gereja, yaitu HKBP Malakoni dipimpin Pendeta Resort, HKBP Boboyo dipimpin oleh Guru Jemaat Marselius Manalu dan HKBP Banjarsari dipimpin Pendeta Agus Septo Kauno Pasaribu, putera asli Pulau Enggano.
Nah, karena di Pulau Enggano ini transportasi umum yang ada hanya bus sekolah yang hanya diperuntukkan bagi murid sekolah, sementara yang lainnya memakai motor dan mobil pribadi, maka ada jemaat yang menawarkan kami naik mobil "pick up" atau naik motor dibonceng satu-satu. Kamipun memilih naik mobil terbuka itu untuk perjalanan kurang lebih 10 kilometer ke gereja HKBP Malakoni tempat menginap disana.
Walau terkesan sederhana tetapi keramahan penduduk Enggano sepanjang jalan yang memberi salam walaupun baru saja ketemu membuat hati sangat legah, apalagi mendapat kabar bahwa baru 2 minggu ini telkomsel sudah membuat towernya di Enggano dan itu berarti tempat ini secara telekomunikasi tidak bermasalah lagi, saya pun mencoba membuat "IG-live" dan berhasil ditonton langsung oleh beberapa perawat di rumah sakit.
Kegiatan hari Jumat itu kami isi dengan membuat profil gereja dan perangkatnya, serta pelayanan kebaktian rumah di Enggano, sebagai informasi penduduk Pulau Enggano kurang lebih 4000an orang dan terdiri dari penduduk asli yang memiliki 5 suku, yaitu Kauno, Kaahoao, Kaarubi, Kaitora dan Kahararuba serta para pendatang yang mereka beri suku tersendiri suku Kaomay.Â