Ada bocoran di lingkungan relawan Pakde yang memberi sinyal begini, buatlah jagoanmu melewati batas psikologis 30% di survey-survey nasional yang terpercaya, maka ada alasan untuk memaksa partai-partai besar mencalonkannya menjadi presiden. Dan ternyata batas psikologis itu sudah tercapai.
Masalahnya adalah di beberapa dialog antara perwakilan relawan dan dedengkot partai yang ditayangkan di beberapa media sosial, membuat kesan para petinggi partai besar tidak mau ditekan dan dipaksa-paksa relawan dan malah mengganggap mereka bekerja karena pesanan dan bukan berjuang gratisan.
Benarkah para relawan ini sudah dianggap "influencer" oleh partai-partai? Ini dapat dimaklumi karena ternyata di kemudian hari banyak yang mengakunya relawan ternyata pentolan-pentolannya akhirnya mendapatkan jabatan dan dapat posisi atau bisnis yang berhubungan dengan pemerintahan, sementara relawan kelas kroco terkesan dicuekin begitu saja dan memang tidak minta diperhatikan juga.
Atau mungkin saja, partai-partai politik juga mempunyai rekam jejak bahwa beberapa relawan ini pernah disewa sebagai "influencer" untuk proyek politik tertentu dan memang memiliki jumlah "follower" yang lumayan banyak, sehingga diragukan motivasinya mendukung si calon presiden tanpa pamrih.
Mungkin satu-satunya cara "menodong" partai-partai adalah membuat ancaman yang paling menakutkan mereka yaitu elektabilitas, kalau kalian dukung dia, partaimu kupilih, kalau tidak dukung dia maka partaimu kami tenggelamkan. Walau ini terkesan seperti mengkhultuskan individu tetapi sepertinya tidak ada cara lain karena dialog dengan partai tidak akan mungkin tercapai kata sepakat karena bagi mereka tidak pernah ada makan siang gratis, apalagi makan malam?
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H