Pak Pamong Kota bernama Abis Gawean bangga banget, karena sebuah lembaga nirlaba  "The Content Unusual Meaning International" (CUMI) yang berpusat  di negeri Kakanda, negeri baru hasil reklamasi lumpur endapan sedimen di 3 benua selama 70 tahun, menganugerahkannya gelar "The CUMI's Heroes" kepadanya, satu dari 25 orang public figure yang mampu membuat terobosan-terobosan atau cara-cara baru dalam mengatasi masalah-masalah perkotaan atau sosial ekonomi dan mempublikasikannya di media sosial dengan gaya yang unik.
"Ini pengakuan yang merupakan kolaborasi semua pihak dan instansi terkait di Kota Jaya-jaya. Membuat semangat kita untuk lebih kreatif lagi dalam memperbaiki fasilitas publik." Katanya kepada semua wartawan saat konferensi pers.
Langsung saja keesokan harinya berita ini menjadi "headline" di media sosial dan "mainstream" di kota Jaya-jaya bahkan ke seluruh negeri Gemah Ripah Lohjinawi, karena pak Abis Gawean memang digadang-gadang akan menjadi pemimpin masa depan yang menurut beberapa survey menduduki posisi 3 besar calon presiden negeri itu.
"CUMI? Lembaga apa pula itu?" Lawan politik pak Pamong dari beberapa partai sayap tengah tidak terima begitu saja. Dikirimkanlah agen-agen penyelidik ke negeri Kakanda untuk menyelediki lembaga nirlaba itu, karena secara media sosial lembaga ini sangat minim "follower", minim "postingan" dan minim "view" apalagi "comment".
Agen 700 dari partai Wong Cilik, yang badannya besar pun terkejut karena kantor pusat "CUMI" ternyata hanya sebuah rumah toko dengan pegawai yang datang kerja jam 10, dua orang bergantian, tanpa banyak perabot dan aktifitas hanya mengetik beberapa tugas.
"Ini lembaga nirlaba, nirpekerja tetap karena kami berdua "partimer", nirmeubeler jadi kalau bertamu silahkan duduk di lantai alias lesehan dan pimpinan kami juga gak pernah di kantor alias nir pimpinan." Pengakuan Ayaaya Wae yang menyambut si penyidik.
"Lalu kriteria "CUMI's Heroes" diambil dari mana?" Agen 700 bertanya penasaran.
"Setiap "public figure" yang kami lihat aktif di media sosial dan berpotensi menjadi donatur di lembaga ini, kami hubungi, ada 10.000 tokoh yang kami hubungi dan 25 orang tadilah yang donasinya paling banyak."Jelas Ayaaya Wae.
"What? Begitu saja?" Sang Agen terbelalak antara bingung mau marah atau tertawa.
"Kriteria lainnya itu terserah Boss, tetapi hubungan kami dengan pimpinan hanya via telepon atau pesan singkat, kami tidak pernah melihat dia langsung, seperti "charlie's Angels" begitulah." Ayaaya pun tersenyum manis dan si investigator mengundurkan diri.
Sang Agen membawa hasil temuan ini dan terjadilah perang opini di Gemah Ripah Lohjinawi antara pendukung Abis Gawean dan saingan-saingannya di media sosial dan tentu saja tetap hasilnya seri, tidak pernah ada pemenang, setiap pihak selalu merasa menang dan saingannya kalah.
Yang kalah secara hakiki adalah media mainstream, karena kadung "memblow-up" penghargaan dari CUMI tanpa terlebih dahulu memverifikasi apakah ini lembaga yang berhak memberi penghargaan bergengsi atau tidak, intinya mereka yang sebenarnya harus lebih baik dari netizen malah ikut-ikutan heboh tanpa mau repot menyisihkan waktu untuk investigasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H