"Lihat ini vaksinnya ya, Dok. Bukan vitamin...," kata perawat yang akan menyuntikkan vaksin Covid-19 ke bahu kiriku pukul 08.45 WIB tadi.Â
Dia menyuntikannya tegak lurus permukaan bahu setelah dibersihkan dengan alkohol terlebih dahulu, beberapa detik kemudian jarum beberapa milimeter itu menembus kulit, jaringan bawah kulit, lapisan lemak, dan akhirnya otot.Â
Dibuka dengan sambutan direktur dr. Yanto, MARS dan doa oleh salah satu suster biarawati. Kita yang sudah mendaftarkan diri dan mendapat "karcis" untuk divaksin akan melewati 4 meja.Â
Kemudian ditanya apa pernah kena Covid-19, apa ada penyakit autoimun, apakah ada sakit ginjal atau jantung parah, adakah kanker, adakah kelainan darah. Kalau diabetes melitus maka HbA1c (gula selama 3 bulan di sel darah merah) harus kurang 7. Kalau tidak lolos penyaringan maka gagal divaksin.Â
Ada yang berliburan dengan berkerumun dan masker jarang dipakai, ada yang pesta tanpa jaga jarak, dan ada juga yang memang mengaku awalnya tidak peduli atau tidak takut virus ini sampai akhirnya mengalami sesak berat.Â
Jadi, bagi tenaga kesehatan, divaksinasi ini adalah upaya untuk meminimalisasi tertular atau memperingan gejala kalau toh masih tertular, karena terbukti dengan alat pelindung diri (APD) level 3 pun kami masih berisiko tertular.
Soal efek samping berat, mudah-mudahan tidak terjadi karena sudah disaring terlebih dahulu di meja dua.Â
Semoga pengalaman ini bermanfaat dan menjadikan tidak ragu buat divaksin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H