"Alhamdulillah, hasil swab saya negatif, Dok." Lapor Pasien wanita 30-an tahun yang saya rawat dengan konfirmasi covid-19 bulan Juli lalu dan kemudian pemeriksaan usapan hidung dan mulut (swab PCR-polymerase chain reaction) setelah seminggu negatif.
Permasalahan yang timbul, setiap 2 minggu si ibu ini memeriksa darahnya ulang, ternyata antibodi terhadap covid-19 (rapid test antibody) masih positif dan tempatnya bekerjapun beberapa hari lalu memerintahkan si Pasien isolasi mandiri dan menjalani tes usapan ulang dan hasilnya kemarin negatif.Â
Kesimpulan, si pasien beberapa kali rapid test antibody positif sesudah sembuh adalah kondisi yang sebenarnya punya kekebalan, bukannya sakit, tetapi pihak kantornya khawatir dia masih sakit atau kambuh lagi sehingga mewajibkan ikut tes rapid berkala, mungkin karena biayanya beberapa ratus ribu daripada pemeriksaan swab yang sekitar 3 jutaan.
Apakah ini pemberian stigma negatif kantor si Pasien terhadap dirinya? Ataukah merupakan pencegahan yang sebaiknya dilakukan karena di kantor itu ventilasinya kurang baik sehingga dibuatlah aturan main baru untuk menghindari "cluster" baru?
Kita tidak dapat menghakimi tempat kerja si Pasien ini 100% salah karena memang penyakit ini baru dan berbagai variasi penularan dan kekebalan yang masih membingungkan dan alur penatalaksanaan pasien sakit, pasien sembuh yang belum tercapai kesepakatan. Tetapi permasalahannya, ada beberapa, yaitu:
1. Karena mantan Pasien Covid-19 yang sembuh kemungkinan besar antibodinya tetap positif dalam waktu berbulan-bulan, maka sebaiknya jangan melakukan penyaringan (screening) rapid test antibody, langsung saja swab PCR.
2. Jangan hanya si mantan konfirmasi Covid-19 yang diperiksa, semua  teman sekerjanya di ruangan juga, untuk membuktikan tidak adanya stigma negatif.
3. Kalau hasil swab PCRÂ kali ini hasilnya negatif, maka Pasien boleh menolak pemeriksaan lagi kalau tidak ada indikasi kuat, misalnya ada batuk, pilek, demam, sesak napas dan nyeri tenggorokan.
Demikianlah laporan kasus menarik dimana kemungkinan telah terjadi stigma negatif pada mantan pasien covid-19 di kantor yang sebenarnya cukup tinggi kualitas intelektualitas pegawainya (BUMN), bagaimana lagi di tempat pekerjaan atau komunitas yang mutu intelektualitasnya rendah, apakah akan mengalami hal yang sama?Â
Antara pencegahan penularan dan ketakutan berlebihan batasnya menjadi tipis sekali karena penyakit ini memang sangat infeksius dan angka kematiannya tinggi.
Tetapi kalau toh setiap mantan pasien covid-19 harus dilakukan pemeriksaan ulang untuk membuktikan "kesuciannya", maka lakukanlah tes swab PCR, jangan rapid test antibody secara periodik dengan biaya kantor dan kalau hasilnya sudah negatif lagi, maka hanya dapat diulang kalau ada gejala khas covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H