"Lae, pinjam uangmu 20 juta, anakku mau kuliah."Kata salah seorang keluarga cukup dekat tapi tidak satu-dua cabang langsung, mungkin sekitar belasan cabang marganya berhubungan dengan saya tetapi di orang Batak ini masih dinamakan "saompu" (satu kakek).
"Oh, tidak bisa sebanyak itu, Lae. Kalau 500 ribu ada." Kataku sambil menyodorkan uang 500 ribu yang kebetulan dapat dari praktek sore itu.
"Masak Lae tidak punya 20 juta, tidak mungkin." Katanya lagi.
"Uang saya semua saya investasikan, Lae. Kalau diambil sekarang bakal kena "penalty" atau kalau saham, harganya sedang tidak bagus." Kataku lagi.
"Kalau cuma segitu, tidak jadilah." Lalu saudara dekat ini pergi dengan muka tidak seramah saat datang tadi dan sudah pasti kalau ketemu lain waktu akan dinginlah suasana kekeluargaan kami.Â
Tetapi untungnya dia tidak mengambl uang tadi, di peristiwa lain ada saja yang marah-marah menunjuk-nunjuk muka, menganggap tidak hormat, tetapi uangnya tetap diambil tanpa bilang terima kasih.
Bagi sebagian besar orang Batak, meminjam uang ke keluarga itu sudah mirip mengemis, jadi kalau memang memungkinkan dia akan meminjam ke orang lain dahulu, baik tu ke bank maupun menggadaikan barang. Terakhir baru ke keluarga yang diperkirakan ada uang lebih dan mau menolong.
Pertanyaannya berapakah batasan meminjam uang ini kepada keluarga dekat? Kalau nasehat saya sih jangan terlalu banyak, karena kalau kita tidak sanggup membayar tepat waktu ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
1. Kita dipermalukan di depan keluarga lain karena berhutang (kalau masih ada rasa malu).
2. Dia tidak menyebarkan ke orang lain, tidak menagihkan, tetapi di acara adat yang memerlukan perannya, bisa saja diboikotnya atau dia tidak mau membantu.
3. Kalau dia si pemberi pinjaman itu dari pihak marga istri atau marga ibu (hula-hula atau tulang), maka ada keyakinan bahwa mereka tidak akan mendoakan kita sukses dan malah sebaliknya. Jadi jangan heran kalau ada masalah sedikit, si peminjam akan merasa dihantui.