"Dok, minta rekomendasi kalau saya asma." Permintaan perawat yang cukup senior di rumah sakit kami karena mendapatkan jadwal bertugas di bangsal yang khusus menangani pasien yang dirawat dengan status dugaan virus covid-19. Ruangan ini harus dilayani dengan alat perlindungan diri lengkap yang tidak boleh dibuka selama jam dinas kecuali sangat mendesak dan keahlian perawatnya dalam sanitasi diri dan perawatan pasien sudah teruji minimal 3 tahunan.
"Oke, kamu periksa alat spirometri, nanti kita nilai derajad sumbatan napasnya berapa." Lalu si perawat melakukan pemeriksaan yang dimaksud dimana dia meniupkan napasnya sekuat mungkin ke semacam kanul yang dihubungkan dengan mesin, dan didapatkanlah hembusan napas paksanya selama 1 detik pertama hanya 8%. Normalnya, kalau saluran napas kita bagus, setelah menghirup napas dalam lalu kita hembuskan napas sekuat-kuatnya ke alat spirometri itu maka minimal 80% udara dapat dikeluarkan dari paru-paru dalam sedetik.
Bukti otentik spirometri itu menjadi alasan kuat si perawat untuk tidak merawat di bangsal yang spesial itu karena saluran napasnya tidak optimal sementara virus corona sangat doyan nemplok di paru-paru.
Beberapa perawat yang hamil dan baru melahirkan juga meminta rekomendasi tidak ikut karena sedang kondisi rentan, tidak ketinggalan yang menderita lupus dan ada diabetes melitus harus disisihkan karena daya tahannya menurun karena faktor metabolik atau karena makan obat yang menurunkan imunitas.
Memang kasus virus ini tetap banyak tetapi itu akibat banyaknya laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan swab dari mulut dan hidung serta banyaknya disediakan alat pemeriksaan rapid test antibody covid-19. Jadi kasusnya mungkin bertambah atau sebenarnya kasusnya memang banyak tetapi bertambah mudah terdeteksi dibandingkan 2-3 bulan yang lalu.Â
Kasus yang meninggal juga cenderung "stagnant" 60-80 kasus sehari si Indonesia, menunjukkan virus ini keganasannya menetap menuju menurun yang dibandingkan dengan banyaknya kasus menurut saya kelanjutannya akan sangat tergantung dengan kepedulian masyarakat untuk lebih cepat memeriksakan diri kalau merasa ada gejala-gejala virus ini dan ada riwayat kontak lebih 5 menit dengan orang atau sekumpulan orang beresiko atau orang yang bergejala demam, pilek, sakit tenggorokan, sesak ataupun bersin-bersin.
Perawat lebih beresiko bekerja di bangsal ini daripada dokter karena mereka ada 7-10 jam di ruangan yang ada beberapa pasien bergejala khas covid-19 dengan hasil rapid test antibody covid-19Â positif atau malah sudah ada hasil swab PCRÂ positif, mereka harus memberi obat, mengukur suhu, tekanan darah. kelarutan oksigen di ujung jari serta asuhan keperawatan lainnya dan dengan APD yang demikian lengkap mereka tidak bisa makan dan minum ataupun buang air yang membuat mereka dapat dehidrasi dan sangat tidak nyaman selama jam dinas.
Apalagi di rumah sakit non pemerintah seperti kami yang mungkin perhatian dari instansi terkait tidak sama persis dengan sejawat yang pegawai negeri maka tugas pelayanan ke penderita covid-19 ini sangat menuntut keikhlasan dan pengorbanan tanpa pamrih, karena sekilas mereka mendengar ada semacam "penghargaan" untuk petugas kesehatan pandemi ini. Apakah ini berlaku untuk semua petugas kesehatan tanpa mengenal status kepegawaian PNS atau swasta? Kita belum tahu sekarang, kita baru tahu nanti kalau ada yang marah-marah lagi, mungkin.
Maka semua petugas, perawat, dokter dan penunjang medis lainnya di bangsal-bangsal yang menangani pasien virus berbahaya ini sebenarnya sudah terseleksi dan siap fisik dan mental untuk melayani dan mudah-mudahan perhatian dari pihak-pihak terkait cukup adil supaya semua berbahagia dan semua dapat Rahmat-Nya.