Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Telemedicine dan Kontroversinya di Masa Pandemi Virus Corona

5 Mei 2020   23:58 Diperbarui: 6 Mei 2020   09:14 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi virus corona yang sudah memakan korban di seluruh dunia lebih 3 juta penderita dan puluhan 250 ribuan kematian. Di Indonesia sendiri yang terkonfirmasi positif covid-19 melalui tes PCR swab mulut dan hidung mencapai lebih 12 ribu dan 870-an kematian sampai malam ini.

Di antara mereka, ada puluhan dokter atau perawat yang meninggal dunia dengan terkonfirmasi positif selama pandemi ini walaupun tidak semuanya yang merawat langsung pasien covid-19. Ada yang meninggal karena tertular oleh aktivitas di luar medis.

Beberapa hal yang memungkinkan kematian terjadi pada dokter dan paramedis adalah:

1. Faktor komorbid, yaitu penyakit atau kelemahan tubuh yang bersifat lama atau menetap pada seseorang yang membuat virus corona cepat berkembang dan mengganas, antara lain umur tua, penyakit diabetes melitus, penyakit pernapasan menahun, dan kurang gizi atau kelelahan.

2. Alat pelindung diri (APD) yang kurang, baik jumlah atau kelengkapannya. Baju Hazmat yang asli sebenarnya harus berbahan khusus dan sangat "njelimet" asesoris lainnya, seperti sarung tangan, sepatu bot, "face shiled", kaca mata khusus dan masker khusus.

Perlengkapan ini pun idealnya sekali pakai dan langsung dimusnahkan kalau berhadapan dengan kuman yang sangat infeksius.

Membuka APD-pun harus sama hati-hatinya dengan memakainya. Jadi kalau 8 jam waktu dinas maka selama itu pula semua alat tersebut terpasang. Ada beberapa penelitian yang menyebutkan tertularnya petugas kesehatan justru terjadi di ruang ganti APD atau karena pemakaian APD yang tidak tepat.

3. Kejujuran pasien, terkadang pasien tidak mau jujur ada resiko tertular virus karena baru dari tempat yang banyak virusnya atau kontak erat dengan penderita covid-19, sehingga dokter yang memeriksa tidak memakai APD lalu tertular.

4. Dilema rapid test (RT) Covid-19, di mana ada kemungkinan "false negatif". Dokter memeriksa pasiennya yang hasilnya RT negatif, lalu tidak waspada dan melepas APD, padahal si pasien sebenarnya positif hasil swabnya.

Mungkin saja dia negatif RT karena imunitasnya sedikit jadi tidak terbentuk antibodi atau saat diperiksa RT baru terinfeksi 1-2 hari padahal antibodi baru diproduksi hari ke-5.

sumber: instagram Fransiska Galih
sumber: instagram Fransiska Galih
Apapun penyebabnya, hal ini membuat semacam ketakutan semua petugas kesehatan akan virus ini yang berimbas kepada perubahan tata cara memeriksa pasien. 

Kalau dahulu kami selalu ditekankan pasien harus dianamnesa (wawancara) yang mendetail dari identitas, lalu riwayat keluarga, riwayat penyakit dan riwayat pengobatan, maka sekarang langsung kita menanyakan riwayat perjalanan sebulan terakhir dan riwayat kontak dengan orang dalam pengawasan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP).


Pemeriksaan fisik yang tadinya lengkap dari ujung rambut ke ujung kaki, yang bisa memakan waktu 10-20 menit, sekarang hanya fokus ke suhu badan dan langsung ke tempat sakitnya.

Untuk daerah hidung dan mulutpun kita usahakan hanya menanyakan keluhan dan tidak memegangnya langsung karena si pasien sedapat mungkin tetap bermasker. Praktis hanya 5 menitan karena kontak erat lebih 10 menit sangat dihindari.

Belakangan, rumah sakit yang tadinya tidak menyarankan konsultasi dokter via aplikasi di smartphone yang marak terjadi, meniru cara tersebut dengan alasan mengurangi kontak pasien dan dokter. Akan tetapi bagi pasien, khususnya pasien kronis, tetap jangan putus obat sehingga tidak terjadi komplikasi yang lebih parah seperti "stroke", serangan jantung, dan cuci darah.

Caranya, pasien mendaftar secara online ke rumah sakit melalui media sosial yang ditunjuk, lalu membayar uang konsultasi. Kemudian oleh rumah sakit diarahkan bertanya kepada dokter secara online.

Bila ada perlu diberikan obat, dibuat resep ke farmasi, pasiennya membayar dahulu, kalau sudah terkonfirmasi bayar obat akan disiapkan dan diantar melalui mekanisme delivery tertentu.

Cara ini dinamai "telemedicine" yang menjadi andalan semasa pandemi ini yang masih diperdebatkan manfaat dan risikonya. Beberapa risiko yang dapat terjadi:

1. Kurangnya ketelitian penegakkan diagnosis. Dokter hanya mengandalkan wawancara dan melihat saja, kalau ada alat untuk melihat kelainan di tubuh pasien.

Mungkin ada beberapa tehnik mendengarkan jantung atau suara napas yang ditempelkan alat ke dada tetapi tetap tidak sebaik pemeriksaan langsung. Sangat dibutuhkan intuisi dan jam terbang dokter di bagian ini.

2. Untuk pasien lama, yang sudah biasa berobat, mungkin catatan medis lama dapat membantu tetapi untuk pasien baru maka kemungkinan ada salah diagnosis dan pengobatan dapat semakin besar.

3. Untuk pasien pecandu obat tidur atau NAPZA, cara ini dapat saja disalahgunakan untuk memenuhi keinginannya. Dengan alasan sakit tak tertahan atau tidak tidur 7 hari.

4. Tidak semua spesialisasi dapat melakukan "telemedicine" dengan baik, misalnya pasien kebidanan atau gigi yang harus diperiksa langsung.

5. Tentu saja payung hukumnya belum jelas benar, karena membuat atau mengubah undang-undang itu sulit. Preseden penyelesaian tuntutan karena kasus seperti ini pun setahu saya belum ada.

Walaupun demikian "telemedicine" setidaknya menjadi jalan tengah dari dokter yang perlu waspada tertular dari pasien di satu sisi dan pasien yang takut ke rumah sakit padahal sakitnya kronis. Di sisi lain dan mudah-mudahan sampai badai wabah ini selesai tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

sumber: dokumentasi KOMPAL
sumber: dokumentasi KOMPAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun