"Saya hanya "acting" saat kalian "brain wash" dahulu,  pura-pura menjadi terharu mencintai demokrasi dan republik Gemah Ripah ini. Supaya tongkat komando militer ini jatuh ke tanganku dan kekuasaan kurebut untuk menjadi negara andesi  yang antidemokrasi." Jendral Igjo yang baru saja dilantik sebulan lalu menjadi panglima militer ibukota Republik Gemah Ripah melakukan kudeta cepat dalam sehari saja.Â
Presiden, wakilnya, Â anggota kabinet dan parlemen yang sedang menghadiri upacara bendera hari kemerdekaan di istana, Â semua diamankan karena kebetulan formasi pasukan yang ikut upacara adalah dibawah kendalinya dan hampir semua perwira menengah dibawahnya sudah terpapar ide -Ide antidemokrasi yang rajin diindokrinisasinya sebulan terakhir.
"Kupikir kau sudah 100 % prodemokrasi, Â Igjo. Â Makanya aku setuju mengangkatmu jadi panglima militer ibu kota. Apalagi dua tahun terakhir kau sukses menumpas aksi terorisme di perbatasan utara dan pegunungan timur. Ternyata itu hanya tipuan saja, kamuflase. " Presiden Donatelor berkata bergetar antara marah, sedih, Â geram dan kecewa. Â
Banyak sudah nasehat, Â email warganet bahkan dengar pendapat dari parlemen bahwa Jendral Igjo tiga puluh tahun lalu, saat remaja, di media sosialnya ada foto-foto saat mengibarkan bendera-bendera yang antidemokrasi bahkan ibu kandungnyapun media sosialnya jelas-jelas membuat opini-opini yang menyarankan sistem pemerintahan lain dan sangat membenci sistem pemilihan umum.
Tetapi naluri kebapakan presiden Donatelor berharap ada perubahan besar dalam diri perwira potensial ini dari sangat antidemokrasi menjadi pengawal demokrasi yang kukuh, namun kali ini keputusan politiknya salah, Igjo sang jendral kharismatik langsung mengambil alih kekuasaan, semua anggota parlemen dipaksa tanda tangan rancangan undang-undang pengalihan kekuasaan dibawah todongan senjata lalu dibuatlah pengumuman ke seluruh daerah bahwa pemerintahan beralih ke Igjo dan keadaan negara sementara darurat militer. Dilarang demonstrasi, karena siapapun yang turun ke jalan akan ditembak di tempat.
Semua pembesar diasingkan ke Kepulauan Seratus, deretan pulau kecil tempat wisata yang di beberapa lokasi disulap menjadi penjara yang cukup mewah, ada kolam renangnya, restoran dan tempat olah raga. Semua tawanan akan dijamu sebulan liburan, baru di bulan kedua ditanyai satu-satu mau ikut Jendral Igjo yang anti demokrasi atau tetap ngotot mau berdemokrasi. Yang mau ikut penguasa baru akan diberi jabatan yang sesuai negosiasi tetapi yang menolak akan "diinstall ulang". Entah apa maksudnya, kita tidak pernah tahu...
"Sementara begini saja dulu, sayangku. Tidak semua daerah dan semua pasukan di ujung-ujung negeri Gemah Ripah ini menerima peralihan kekuasaan ini. Kalau sudah enam bulan tidak ada perlawanan lagi, maka baru bentuk negara baru yang sesuai prinsip-perinsip yang ditanamkan orang-orang panutan kepadaku semasa remaja dahulu akan kuumumkan dan kusyahkan."Â
Jendral Igjo memeluk erat istrinya, Syantikirti, penyanyi bersuara merdu yang dia suka sejak berpangkat kapten. Donatelor yang dahulu masih walikota daerah Tengah yang memperkenalkan dan seolah-olah memadu-madukan keduanya.
"Ya, sudah. Istirahat dahulu, ini saya buatkan teh tarik supaya sayangku nyenyak tidur........"Sang istri memberikan secangkir teh hangat, lalu mengurut-urut kaki suaminya, mereka memang tidak memiliki anak karena Syantikirti mengaku belum siap dan sangkin cintanya sang perwira setuju-setuju saja pacaran terus sampai tua.
Teh diseruput satu, dua, tiga, setengah gelas lalu tidak lama sang jendral kejang-kejang, mulutnya berbusa. Mati.....
"Jendral Igjo menyesali mengambil alih kekuasaan dan dia membuat surat wasiat ini bahwa setelah dia mati bunuh diri, semua tawanan politik dilepaskan dan kekuasaan dikembalikan ke konstitusi lama..."Â