"Cerpen? Memangnya perlu belajar? Kamu ceritakan cara masak pempek ikan tanpa berbau amis saja dari awal memilih ikannya sampai cara menghidangkannya itu sudah cerita dan pendek." Ketusku pada Bikcik, sebutan untuk bendahara komunitas yang profesinya dosen tetapi lebih dikenal di komunitas justru sebagai pembuat pempek kelas bangsawan.
"Itu namanya resep masakan atau wisata kuliner, Bang. Beda banget. Kalau cerpen itu ada kisah yang bombastis atau spesial yang diharapkan membuat orang terinspirasi, marah, sedih atau pingsan sekalian sesudah membacanya."Bikcik pun menerangkan.
"Sebenarnya aku lebih suka bahas "travelling" atau kuliner, tetapi kalau boleh belajar fiksi dari ahlinya, kenapa tidak?"Ko Ded, salah satu blogger wisata jalan-jalan yang sudah dikenal seluruh negeri ikut menimpali, dia sesekali ingin juga menulis yang lain sebagai variasi, karena menulis hal-hal yang indah-indah melulu tanpa ada wacana tentang kebobrokan atau ketimpangan atau pemberontakan di alam nyata sepertinya kurang "klop". Ada sisi lain kehidupan yang harus diangkat selain "hip-hip hura", festival, pesta dansa-dansi, tumpah ruahnya makanan khas daerah atau makanan ala hotel bintang lima yang seporsinya bisa jutaan sampai ratusan juta.
"Aku sebenarnya ingin buat cerpen dari SMP, dari remaja, saat pertama puber dan jerawatan. Tetapi hanya berhasil kubuat puisi 4 dan calon cerpen 2 yang terinspirasi rasa sukaku pada cinta pertamaku. Semuanya gagal tayang di mading kelas, karena kepergok temanku saat coret-coretannya terserak di atas meja dan nama si gadis yang kucinta tertera disana. Sebulan aku "dibully" sampai aku trauma dan berulang lagi ngompol di celana saat tidur malam selama kelas dua SMP. Makanya aku benci cerpen dan fiksi." Kataku sambil bergidik sangkin geramnya dengan geremutukan gigi yang terdengar sampai lima meter jauhnya.
"Masih traumakah kau sampai kini, Choks?" Tanya Umek sambil memberi tisu satu, karena tak terasa ada linangan genangan air di mata kiri yang hampir menetes, tetapi tidak jadi karena kurang 2 cc volumenya.
"Enggak. Karena ketika kubaca cerpen-cerpen, puisi dan fiksi lainnya di Siana, yang baca kurang dari 100, sedikit yang lebih dari 500, lalu kusurvey 500 orang anggota, sebagian besar 65% memang kurang suka fiksi dan ternyata dari 65% yang tidak suka fiksi, 70%-nya memang pernah "dibully" karena cerpen atau puisi cintanya ditolak atau disebarluaskan teman sekelas kalau dia jatuh cinta pada pujaannya...."Kataku santai.
"Serius, lo?"Bikcik penasaran.
"Waw, "amazing"!" Ko Ded melongo.
"Bisa pecah, nih, kalau penelitianmu valid."Pancing Umek.
"Susah juga membuktikan validitasnya, Umek. Paling-paling nanti dituduh dataku dari setan gundul. Okelah, aku ikut kelas menulis cerpen, bukan demi membuktikan aku tidak trauma lagi, tetapi demi komunitas ini tetap kompak. Toh aku sedang tidak puber kedua saat ini dan tidak ada anggota komunitas yang ingin aku buat terpesona dengan cerpenku, lagipula kalau toh cerpenku "Dibully" karena bahas cinta atau hasrat terpendam, aku yakin itu bukan "bully" yang menjatuhkan, tetapi "bully" karena sayang....."
Akupun permisi meninggalkan "cafe" tempat diskusi menjelang kuliah cerpen perdana oleh om Phi, sastrawan kenamaan Palembang, meninggalkan 3 panitia kuliah jarak jauh via "whatsap"fiksi yang terbengong-bengong mendengar istilah baru : "BULLY SAYANG".