"Berapa "followers-mu" di FB, IG, Â twitter dan Youtube? Â Kurang dari 5000, lupakanlah.... "Belakangan malah butuh "followers" minimal sejutaan baru seorang penulis dianggap layak jual kalau mau bukunya diterbitkan.Â
Itu kalimat pahit dari para editor ketika aku dengan gagah berani pernah mengajukan beberapa naskah yang kuanggap wah dan heboh. Â Apakah naskahnya dibaca? Â Belum perlu, Â media sosial dahulu diperiksa, seberapa "femous" anda, Â baru kalau sudah cukup terkenal, Â mutu tulisan bisa dipoles.Â
Belakangan, Â konon untuk membintangi sebuah film besar pun, Â calon bintang utama "dicasting" duluan medsosnya. Â Kalau medsosnya ramai, Â duluan dipanggil, Â sementara yang aktingnya bagus tetapi tidak top di dunia maya akan dijadikan alternatif terakhir.Â
Akankah memilih mentripun akan terjadi kecendrungan yang sama? Â Siapa yang banyak pengikut dimasukkan ke kabinet dengan perhitungan kalau tiap mentri "follower" rata-rata 10 juta, Â maka misalnya ada 30 mentri maka pemerintahan setidaknya didukung 300 juta akun.Â
Padahal orang politik bermedsos "moncer" belum tentu visi, misi dan ethos kerjanya sejalan dengan Pakde dan Pak Kyai.Â
Ini sudah waktunya media sosial dibatasi perannya sebatas hiburan, Â pendidikan, Â kesehatan dan wisata, Â sementara untuk politik dikembalikan ke "buku putih" yang lama, yaitu ikut media informasi konvensional melalui informasi resmi juru bicara yang sudah diklarifilasi data-datanya.Â
Pun memilih pembantu presiden, Â sebaiknya media sosial diabaikan dulu, Â dahulukan rekam jejak di kampusnya, Â di keluarganya maupun di pekerjaan dan komunitasnya. Supaya tidak perlu ada pergantian antar waktu karena berbeda selera dan tidak ada ambisi pribadi menelikung kepentingan bangsa yang lebih besar.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI