Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kerusuhan Mei 98 dan Mei 2019, Memaafkan Boleh, Melupakan Jangan

7 Juni 2019   13:06 Diperbarui: 7 Juni 2019   13:13 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerusuhan 21 Mei 2019 yang setidaknya menyebabkan 8 korban tewas, menyisakan kedukaan yang mendalam bagi semua rakyat Indonesia karena janjinya akan dikelola seteduh dan sekondusif mungkin. 

Memang ada alibi kordinator lapangan demonstrasi BAWASLU 21 Mei 2019 bahwa kelompok perusuh itu kelompok lain dari mereka tetapi momentumnya di lokasi yang berdekatan dan waktu harinya sama. Istilahnya kalau demonstrasi "damai" sampai pukul 8 malam itu tidak jadi dilakukan, apakah rusuh tengah malam itu tetap dijalankan?  Bisa iya,  bisa tidak dan massa yang terprovokasi ternyata bukan hanya preman yang dibayar,  tetapi yang tidak dibayarpun ada yang ikutan. 

Kilas balik di Mei 1998, ada kerusuhan yang  mirip,  dipicu kematian 4 mahasiswa trisakti,  berlanjut "chaos" dan terjadi pergantian kekuasaan dari presiden Soeharto ke presiden B. J.  Habiebie, sepertinya ini ingin diulang dan merujuk pergolakan di Tunisia,  Libya dan Mesir yang dipacu adanya "martir" lalu disebar di media sosial,  membuat rakyat bergerak,  cara ini ingin dicoba di negeri kita tetapi ternyata tidak berhasil,  mengapa? 

1. Polisi dan TNI sudah jauh-jauh hari menyatakan tidak usah turun ke jalan, banyak teroris dan penyusup karena direncanakan ada martir yang ingin membuat "chaos".  Maka sebenarnya yang masih turun ke jalan di tanggal 21 dan 22 Mei semuanya sudah paham risikonya dan tahu kalau tertembak matipun mereka belum tentu diberi gelar "martir".

2. Polisi dan TNI sudah memberitahukan tidak  memakai senjata dan peluru tajam,  jadi kalau ada yang terkena peluru tajam maka itu bukan dari aparat resmi yang dikomando panglima TNI dan kepala POLRI. 

3. Konon kabarnya perusuh ini ada yang bandari tetapi bandarnya pelit. Misalnya untuk membuat rusuh bakar-bakaran setengah kota Jakarta perlu 500 milyar ampe 1 trilyun untuk logistik,  bayar preman kelas kakap dan senjata mematikan,  namun karena bundarnya hanya kasih 1-2 milyar misalnya,  hanya dapat bayari preman pemula, senjata batu dan busur bikin sendiri serta bom bensin sederhana. 

4. Jakarta sudah banyak CCTV yang dapat melihat pergerakan para perusuh,  ambulan yang mengangkut mereka dan kebetulan beberapa ambulan disita polisi, ini dapat saja menjadi alasan institusi penyokong perusuh ini diselidiki dan kalau bersalah sampai tingkat pusat, dapat saja dibekukan ijinnya. 

Namun,  menghukum pelaku kejahatan belum tentu berefek baik bagi negara,  karena pendukung loyalisnya belum tentu menerima dan penyusup bisa jadi membuat kerusuhan baru.  

Proses rekonsiliasi di Afrika Selatan perlu dicontoh,  para perancang rusuh,  bandar rusuh,  pelaksana rusuh boleh dimaafkan asal mengakui segala kesalahannya.  Bisa jadi mereka membayar kompensasi kerugian atas kerusakan atau kehilangan nyawa yang disebabkannya. 

Tetapi jangan dilupakan,  perusuh,  bandarnya dan pelaku rusuh, harus tetap dipantau seumur hidup, kalau mulai "rewel" lagi dilumpuhkan saja. Yang terpenting, orang-orang berpotensi merusak ini jangan diijinkan lagi ikut di pemerintahan, untuk ketua RT sekalipun,  karena dapat saja membuat onar setingkat tetangga sebelah menyebelah. 

Kesalahan reformasi 1998 yang tidak selesai adalah hanya menurunkan kediktatoran dan  membentuk demokrasi yang membumi tetapi berhenti hanya memaafkan para pembuat onar di negeri ini. Lalu lupa,  bahwa mereka-mereka yang anti semangat reformasi seharusnya dilarang ikut-ikutan di eksekutif,  yudikatif ataupun legislatif karena suatu saat akan mencoba lagi membungkam demokrasi dan kembali ke ideologi antidemokrasi dengan segala cara. 

Sejarah,  bahasa inggrisnya "history" sering diplesetkan sebagai "his  story" terjemahannya: kisah dia yang menang.  Mumpung presiden terpilih dan legislatif terpilih di pemilu 2019 pemenangnya adalah yang prokonstitusi,  maka sebaiknya pertama-tama di akhir 2019 dibuat undang-undang rekonsiliasi 1998 lanjut 2019, di mana yang dianggap bersalah dengan bukti yang cukup,  mengakui kesalahannya di sidang rekonsiliasi,  dimaafkan, membayar biaya kerusakan yang ditimbulkannya tetapi kemudian dilarang berpolitik atau memerintah seumur hidup. 

Kalau mereka menolak,  baru disidang di pengadilan biasa dan dihukum biasa. 

Sumber: dokumentasi Kompal
Sumber: dokumentasi Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun