"Apa sih salahnya Prabowo?" Tanya salah satu teman saat membaca beberapa tulisanku yang mendukung Jokowi.
"Emang harus ada yang salah? Saya tidak membenci Prabowo, tetapi masalahnya saya harus memilih seseorang di pilpres 17 April 2019 nanti dan yang mengena di hati hanya Jokowi, bukan karena dia ganteng atau cucunya lucu, tetapi "seninya" mengelola negara ini lebih cocok dengan saya."Jawab saya.
Lalu karena si teman ini sama-sama suka bola, saya contohkan sukanya saya gaya-gaya sepak bola Brazil yang indah dan enak ditonton walaupun terkadang gara-gara sibuk "menari" di lapangan para pemainnya lupa mencetak gol daripada gaya Inggris jaman dahulu yang mengandalkan kuat berlari dan adu fisik. Maka diapun maklum, ini soal gaya bukan personal.
Sebaliknya, dia memilih Prabowo karena sejak 2014 awal, sepertinya beliaulah yang hampir pasti menjadi presiden, karena setelah pak SBY, pensiunan jendral yang siap maju dari Gerindra dengan kekuatan dukungan parlemen pemenang kedua pemilihan legislatif adalah beliau.
 Ada perjanjian batu tulis antara PDIP dan Gerindra yang katanya "dikhianati" ketika tiba-tiba PDIP mencalonkan Jokowi di kisaran Maret atau April 2014 yang membuat alasan kebencian pertama kepada Jokowi. Itu menurut temanku, kebencian yang lain itu sebenarnya tambahan, soal tol yang mahal, LRT yang masih sepi peminat, sulitnya menjadi PNS karena ketatnya seleksi, walaupun dia juga kurang percaya Jokowi PKI dan memakai "earphone" saat debat pilpres kedua kemarin. Namun membuat kebencian di tahun 2014 menjadi cinta tahun 2019 itu sulit, karena dia terlalu kagum dengan Prabowo dan Jokowi terkesan "menelikung" orang yang mendukungnya di pilkada DKI 2012 lalu.
Saya pribadi, kalau mau melihat 4,5 tahun pemerintahan Jokowi sebenarnya sedikit sebal dengan keharusan membeli pertalite kalau tidak mau berlama-lama antri membeli premium dan pajak saya sendiripun sebenarnya naik. Tetapi karena saya tahu saudara saya di Papua juga menikmati hasil pembangunan dan daerah perbatasan Indonesiapun dibangun oleh Jokowi, saya rela-rela saja. Inilah pembangunan gaya-gaya negeri Eropa dan Asia yang maju, bukan menumpuk di pusat pemerintahan tetapi merata membangun ke semua propinsi dan satu lagi, kebiasaan pungli di beberapa pelayanan publik jauh berkurang.
Bagaimana kalau Prabowo memenangkan pilpres ini? Sebenarnya tidak masalah, karena keluarga besar Prabowopun sebenarnya lebih sekuler dan kemungkinan beliau menjadi terlalu dikuasai ormas yang kabarnya "agak radikal" sebenarnya sulit, akan dengan mudahnya dia mengkoordinasi TNI-POLRI atau BIN untuk mengatasi tindakan sewenang-wenang ataupun teror oleh oknum-oknum yang ingin memaksakan kehendak.
Jadi alasan saya membenci atau takut dengan menangnya Prabowo tidak ada, ini hanya masalah gaya kepemimpinan dan mimpi-mimpi saya tentang pembangunan Indonesia yang lebih dekat dengan sosok Jokowi tanpa harus membenci dan takut dengan Prabowo. Kalau toh Prabowo menang ya saya terima dia sebagai "pelayan masyarakat nomor satu di negeri ini" tetapi kalau Jokowi menang lagi dan tidak ada sosok yang lebih "cetar" lagi, mungkin bergantian 2024 saya akan membuat tulisan yang mendukung Prabowo dan/atau Sandi, karena 5 tahun lagi siapa tahu mereka berdua berbeda tim sukses. Siapa yang dapat memastikan mereka masih satu gerbong?Â
Karena bagi sebagian orang "menelikung" di politik itu adalah penghianatan tetapi bagi yang lain itu adalah "seninya manuver politik" entah mana yang benar, nanti kita tanyakan filsafatnya dari Rock* G*rung. Â Atau ada yang punya "pintu kemana sajanya Doraemon" untuk melihat perpolitikan masa depan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H