Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Inilah Cara BPJS Kesehatan Membatasi Jumlah Rujukan Pasien Perdokter Spesialis 24 Orang Perhari

5 Februari 2019   06:02 Diperbarui: 5 Februari 2019   07:04 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter dan pasien (dok.pri.)

Sejak awal tahun ini aplikasi rujukan "online" BPJS Kesehatan memiliki cara tersendiri membatasi jumlah pasien yang dapat dirujuk ke spesialisasi tertentu di rumah sakit tertentu dengan asumsi idealnya "kontak" pasien dan dokter di kamar praktek itu 10 menit kurang lebih. Diharapkan, dalam 10 menit pasien dapat diperiksa secara maksimal dan si dokter juga tidak terlalu lelah di satu sisi (untuk dokter yang banyak dicari) dan dokter lain tidak "menganggur" yang kebetulan belum punya nama.

Definisi dokter spesialis "laris" itu sendiri sangat relatif, biasanya dia sudah praktek lama di suatu tempat atau dia punya banyak gelar mentereng karena sering sekolah dan tentu saja lebih 80% pasiennya puas dengan pelayanannya baik yang sukses sembuh ataupun gagal sembuh namun sudah "nrimo dan legowo" karena upaya si dokter sudah terasa maksimal.

Dokter spesialis yang masih "menganggur" atau "menjomblo" itu biasanya yang baru tamat dan belum banyak dikenal pasien lalu kebetulan bekerja pula di rumah sakit yang baru dibuka dan baru bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Tetapi mungkin saja ada beberapa dokter spesialis yang tingkat kepuasan pasiennya rendah, entah karena kurang ramah atau karena pasien merasa si dokter kurang maksimal melayani mereka.

Hal inilah yang membuat terkesan ada "penumpukan" pasien di rumah sakit tertentu dan sebaliknya ada rumah sakit yang terkesan kurang diminati. Nah, sejak awal tahun, di rujukan "online" di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) ada penjatahan  spesialisasi tertentu di sebuah rumah sakit hanya dapat melayani rujukan 24 orang perhari perdokter dengan asumsi si dokter praktek maksimal 4 jam sehari dan satu jam hanya 6 pasien.

Kalau spesialisasi tertentu, misalnya penyakit dalam di rumah sakit itu ada 1 orang saja, maka hanya dapat menerima rujukan sehari 24, namun kalau di rumah sakit itu spesialis penyakit dalamnya ada 10 orang dan ke 10 orang itu terjadwal semuanya praktek 4 jam, maka rumah sakit itu dapat menerima rujukan 240 orang perhari. 

Ini penting, karena terkadang ada dokter spesialis yang "egois" hanya mau sendirian di sebuah rumah sakit tertentu dan tidak mengijinkan sejawatnya yang lain praktek disana, kalau terjadi hal sedemikian, maka itu akan merugikan rumah sakit, karena "jatah" rujukan ke rumah sakit mereka berkurang dan harus dialihkan ke rumah sakit lainnya yang masih ada "jatah".

Ini juga membuat dokter-dokter yang PNS (pegawai negeri sipil) atau ASN (aparatur sipil negara) harus hati-hati menjadwalkan jam prakteknya di rumah sakit pemerintah dan di rumah sakit swasta agar tidak "tabrakan", misalnya di rumah sakit A dia terjadwal praktek pukul 9-13, di rumah sakit B dia tertera ada di pukul 12-16, maka salah satu pelayanannya di rumah sakit itu akan "tidak didata" alias tidak dibayar. Ini penting, karena kalau seorang spesialis namanya (resmi atau tidak resmi, "online" atau "offline") ada di beberapa rumah sakit pada jam yang sama atau beririsan (bahkan ada yang terdata di 5 rumah sakit), maka ada kemungkinan di salah satu atau salah dua lokasi si spesialis ini sebenarnya memakai "stuntman".

Pembatasan ini pada akhirnya bertujuan lebih memberdayakan FKTP untuk pasien kronis yang biasanya menumpuk di rumah sakit padahal sudah stabil, terutama pasien diabetes melitus dan hipertensi. Setengah kasus di rawat jalan rumah sakit biasanya kasus penyakit dalam dan setengah kasus penyakit dalam biasanya diabetes dan hipertensi. Kalau rumah sakit dan spesialisasi penyakit dalamnya tidak memulangkan pasien yang sudah stabil dengan "program pengelolaan penyakit kronis" (disingkat prolanis), maka jangan heran sebuah rumah sakit tipe C dapat kunjungan 600-800 pasien BPJS Kesehatan sehari dengan omset sekitar 114-152 juta rupiah, padahal mungkin sebagian besar seharusnya sudah stabil dan dikembalikan di FKTP dengan program prolanis yang sudah dibayar dengan kapitasi tetap.

Jadi, FKTP pun memperhatikan untuk mengirim rujukan pasien DM dan hipertensi atau kronis lainnya ke rumah sakit yang "rajin" merujuk balik pasien dengan buku prolanis dibandingkan dengan rumah sakit yang jarang merujuk balik, karena pasti rumah sakit tersebut "jenuh" dengan pasien lama yang "gak mau pulang-pulang" ke FKTP.

Apakah program baru BPJS Kesehatan ini merugikan? Untuk pasien yang malas memakai prolanis karena "penggemar spesialis idola" di rumah sakit tertentu, ini merugikan, demikian juga rumah sakit dan spesialis yang berstrategi "menumpuk" pasien kronis sebanyak dan selama mungkin di rumah sakit ini juga pasti merugikan, tetapi bagi pasien kronis baru yang masih perlu pertolongan serta rumah sakit dan spesialis yang tidak masalah dengan program prolanis ini malah "peluang", karena FKTP menyukai pasien-pasien kronis mereka yang sudah stabil cepat kembali.

dari FB kompal
dari FB kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun