Laporan dari Syarikat 98 ke PB PDGI (Persatuan Dokter Gigi Seluruh Indonesia), dua hari lalu, 19 Oktober 2018, terhadap drg. Hanum Rais (selanjutnya saya singkat HR), karena menyebarkan kicauan di "twitter" soal luka jahitan dan lebam Ratna Sarumpaet (selanjutnya saya singkat RS) adalah akibat penganiayaan bukan bekas operasi saat ini sedang ditindaklanjuti di MKEKG (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi) wilayah Propinsi DIY.
Mengapa "naik banding" ke Propinsi, tidak dapatkah diselesaikan di tingkat PDGI Kota? Karena memang pengaduan ini melibatkan dunia politik dan sudah memasuki ranah hukum, walaupun mungkin kasusnya sebenarnya tidak ada urusan dengan gigi.
Menurut opini saya sebagai dokter, kalau ada pengaduan terhadap profesi dokter atau dokter gigi maka hanya mengenai 3 hal:
1. Kesalahan profesi dalam menegakkan diagnosis, melakukan tindakan terapi atau saat rehabilitasi dan kelanjutan terapi saat pulang rawat.
2. Kesalahan etis dalam menangani pasiennya, misalnya kasar, menyakiti hati, melakukan pelecehan. Termasuk kelakuan asusila di tempat kerja ataupun diluar tempat kerja yang diberitakan oleh media sehingga mempermalukan profesinya.
3. Kesalahan kredensialing dan kompetensi, misalnya dokter umum melakukan praktek akupuntur di rumah sakit, padahal rumah sakitnya tidak mengijinkan, dokter bedah melakukan operasi sesar atau dokter kebidanan melakukan operasi usus buntu atau dokter radiologi melakukan tindakan invasif bertujuan terapi.
Pengaduan ini dapat dilakukan oleh pasien dan keluarga yang diobati atau masyarakat dan teman kerja di rumah sakit kalau itu terkait asusila.
Lalu bagaimana dengan kasus HR? Siapa yang melaporkannya? Pasien? Siapa pasiennya? RS? Bahkan luka yang diperiksa HR nyata-nyata di dekat mata dan bukan di mulut apalagi gigi yang merupakan ranah profesinya. Saat memeriksapun HR bukan sebagai profesional, karena tidak ada permintaan visum dari kepolisian soal "penyebab luka".
Okelah, itu melanggar etika, etika yang mana? Karena RS bukan pasiennya, maka tidak ada alasan ini disebut ada pelecehan ke "korban". Kalau disebut asusila, maka "twit" HR bukan pula tindakan asusila, jauh banget.
Kepada yang terhormat MKEKG Wilayah DIY dan PB PDGI, mungkin sebaiknya kasus ini diputuskan dikembalikan ke aparat hukum, karena memang tidak jelas pasiennya dan soal "twit" ini memang belum ada aturan main yang jelas. Walau saya kurang setuju dengan yang dikicaukan oleh HR dalam kasus ini, namun dia melakukannya dalam posisi sebagai politisi yang sedang berjuang mendapat suara, bukan sebagai dokter gigi.
Mungkin di waktu mendatang, PDGI dan IDI memikirkan aturan main dokter dan dokter gigi yang terjun ke dunia politik, apa rambu-rambu yang harus dilakukannya, apakah etis saat dia mau mencabut gigi atau menampal gigi pasien mempromosikan diri atau partai, juga saat mengobati dan mau operasi apakah boleh memberi diskon pada yang simpatisan dan memahalkan pasien yang memilih kandidat lawannya?