Pengakuan RS di rumahnya setelah adanya gelar fakta-fakta penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, membuat terhenyak tim sukses Capres-cawapres Prabowo-Sandi yang sebelumnya menjadikan beliau salah satu juru bicaranya.
Kejujuran telah berbohong itu membuat orang-orang yang "simpati" lalu marah dan ingin menunjukkan solidaritas atas nama "kaum tertindas"pun terperangah, karena sudah kadung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengutuk kebiadaban para pelaku yang diduga 2-3 orang di dalam mobil di bandara di Bandung. Karena si "korban" orang politik pihak sini pastilah yang diduga pelaku pro pihak sana. Wajar dan logis.
Memang para penyebar berita "hoax" tersebut dengan sepenuh hati sudah meminta maaf, tetapi tidak seperti negeri Jepang atau Eropa yang skandal beginian membuat ada yang "gentle" mengundurkan diri dari posisinya, terlihat tetap ada keyakinan bahwa yang terjadi di tanggal 3 Oktober kemarin adalah kerikil kecil bak jalan pion pembuka dalam sebuah permainan catur.
Untuk itu pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan adanya kasus ini, janganlah merasa pilpres 2019 telah selesai, karena pertimbangan berikut:
1. Tidak ada kata mundur dari kandidat manapun.
2. Masa kampanye masih 7 bulan lagi, terlalu banyak kisah dapat dibuat di Kompasiana sehari, apalagi kisah dalam sebuah negeri dengan penduduk 250 juta. Mungkin saja akan ada "hoax" lain dari pihak berseberangan dengan efek domino yang sama.
3. Fenomena "kuda Troya" mungkin ada di kedua tim pemenangan pilpres. Dimana ada oknum yang masuk ke salah satu kubu, dipercaya di kubu itu, tetapi pada akhirnya membuat "blunder" disengaja atau terlihat tidak disengaja yang menjatuhkan kepercayaan publik pada salah satu pasangan. Konon, "kuda Troya" terbaik dengan "blunder tercetar membahana syantik" akan muncul di hari-hari terakhir menjelang pencoblosan, bukan saat ini.
4. Bangsa ini adalah bangsa pemaaf. Sesalah apapun seorang tokoh politik, mereka akan lupakan kalau kejadiannya sudah lama. Tetapi kalau kesalahan fatalnya dilakukan 1-2 hari menjelang pencoblosan, biasanya akibatnya fatal. Makanya, jangan buat kesalahan di menit-menit terakhir.
Demikianlah saran saya yang sebenarnya simpatisan salah satu kandidat tetapi kalau toh pihak lawannya menang juga tidak masalah karena bukan orang politik praktis. Saya pembayar pajak taat, tidak "ngeles" dan saya yakin siapapun presidennya akan lebih menyukai pembayar pajak taat walau beda pilihan dibandingkan tim suksesnya sendiri tetapi pengemplang pajak. Karena yang gaji presiden ya pajak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H