Memang tiap 5 tahun kita harus berganti presiden karena tidak pernah ada lagi penunjukan presiden seumur hidup dan tidak ada perubahan undang-undang dasar yang mengganti dasar negara menjadi kerajaan, misalnya.
Ini adalah risiko demokrasi, malas begini dan rindu tenang sepanjang umur dari hiruk pikuk perang "taggar", kampanye dan lain-lain, mungkin sebaiknya pindah ke negara lain yang berazaskan monarki atau mengaku republik tetapi presidennya seumur hidup. Kalau mau mengganti dasar negara kita dan sistem demokrasinya menjadi bentuk lain secara damai harus memenuhi syarat kuorum di Majelis Permusyawaratan Rakyat, cara lain ya makar atau kudeta.
Bagi saya, demokrasi yang mahal dan merepotkan ini adalah bak indahnya permainan bola kaki, waktu bertanding ya bertanding, sesudah itu selesai. Tetapi kita tetap ada kesempatan mendapatkan pialanya. Berbeda kalau piala itu sudah jatahnya orang dan kita hanya bisa menatapnya saja.
Demokrasi jugalah yang menjanjikan peralihan kekuasaan 5 tahunan secara damai, berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang perebutan kekuasaannya harus melalui perang, rakyat yang tidak puas harus mencari pemimpin gagah berani baru yang punya tentara kuat dan menyerang istana. Setelah menaklukan penguasa lama, maka biasanya si pemimpin ini menjadi raja baru dan seluruh keluarga raja lama akan dibunuh berikut kroni-kroninya. Terus belum tentu si raja ini adil dan melayani, dapat saja lebih kejam dari raja lama, tetapi untuk menggantinya rakyat harus menunggu pemimpin gagah berani yang baru lagi, itu bisa saja 1 tahun tetapi bisa juga 1000 tahun kalau dinasti raja lama sangat hebat menjaga kekuasaannya.
Maka saran saya untuk lawan politik atau kawan politik sampai hari "H" pilpres tahun depan, mari bertanding dengan licik, sportif, santai, ngotot atau kejam sekalian asal masih dalam koridor yang diijinkan wasit, "it's okey". Semua hanya dalam masa pertandingan demokrasi. Selesai pertandingan yang mau "baper" sepanjangan ya terserah, tetapi sebaiknya "move on" dan latihan sebaik-baiknya untuk pertandingan lain 5 tahun selanjutnya.
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H