"Sudah "nyoblos", dok?" Tanya perawat penanggung jawab "shift" jaga pagi tadi saat saya mengunjungi pasien-pasien rawat inap sepulang dari TPS (tempat pemungutan suara).
"Sudah, ini kelingking kanan saya sudah biru."Jawab saya.
"Kita foto bareng, dok, jari biru dokter dengan jari kami yang tidak bisa dibiruin."Kata mereka agak kecewa, mungkin ada yang sangat ingin memilih tetapi karena tugas yang tidak dapat ditinggalkan terpaksa "golput".
Lalu "klik" beberapa fotopun diambil dan kami jadikan kenang-kenangan.
Ya, itu hari libur bagi yang pekerjaannya boleh ditinggalkan sejam, dua jam bahkan 24 jam tanpa ada yang merasa dirugikan tetapi ada pekerjaan yang harus siaga penuh 24 jam seperti rumah sakit, pemadam kebakaran dan tentu saja aparat keamanan. Bagaimana mereka dapat memilih sementara waktu pemilihan di TPS adalah pukul 07.00 sampai 13.00?
Waktu kerja di rumah sakit yang harus siaga 24 jam adalah dokter jaga bangsal dan emergency, perawat, apoteker, analis laboratorium, radiografer serta bagian pendaftaran perawatan. Terbagi 3 "shift" (giliran jaga) yaitu dinas pagi (06.30-13.30), dinas siang (13.30-20.30) atau dinas malam (20.30-06.30)  dan pegawai yang mau dinas "shift" tertentu diwajibkan datang 15 menit sebelum mulai bekerja.
Meliburkan rumah sakit adalah kemustahilan, meminta karyawan yang dinas malam untuk menunggu sampai pukul 9 pagi karyawan yang dinas pagi untuk memilih di TPS dahulu adalah relatif sulit karena merekapun sudah pasti lelah dan mau istirahat dan syukur masih ingat ke TPS.Â
Bila satu rumah sakit rata-rata ada 50-100 saja karyawan yang tidak dapat ke TPS akibat kewajiban kerjanya, maka di pemilihan presiden tahun depan ada kurang lebih 2200 rumah sakit, maka dipastikan 110.000-220.000 mata pilih hilang.
Itu dari sisi petugas saja, bagaimana pula dengan pasien rawat inap dan keluarga yang menjaganya? Berapa banyak mata pilih lagi yang terpaksa "golput"? rata-rata pasien yang dirawat serta keluarganya 2x petugas yang menjaganya, berarti 200-400 ribu lagi yang terbuang suaranya.
Beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan adalah adanya TPS keliling seperti masa orde baru dahulu, ada petugas keliling ke rumah sakit dengan membawa kotak suara dan bilik suara "mobile", semua warga negara Indonesia di rumah sakit tersebut yang memiliki KTP dan jarinya tidak ada tinta biru boleh mencoblos.Â
Cara lain mungkin ada TPS tertentu yang bukanya mulai pukul 5 subuh dan atau tutup pukul 17 sore di tiap kecamatan untuk mengantisipasi pekerja "shift-shift-an".
Karena kewajiban warga negara yang paling penting saat ini sebenarnya dua, yaitu pemilihan umum dan bayar pajak. Kalau salah satu tidak dapat dikerjakan karena tugas, siapa yang salah?