Seru benaran kalau menyeberang ramai-ramai seperti ini, karena kabarnya, kalau belum ikut-ikutan berfoto atau bervideo saat di Shibuya, maka liburan ke Tokyonya seperti kurang garam.
Oh,ya. Sebelum menyeberang itulah saya sedikit "shock" ketika seorang Jepang berpakaian lusuh tetapi rapi, tidak kurus, mukanya putih tetapi agak lebih tua dari saya karena mulai ubanan memegang tangan saya dan meminta maaf "Sorry" lalu menunjukkan "smartphone"-nya yang menerjemahkan tulisan Jepang ke bahasa Inggris berbunyi demikian "Sorry, can't you give me a change for food?"
Begitu melihat tulisan itu dan dia sepertinya setengah memaksa atau memohon saya kurang tahu, kuputuskan melepaskan pegangannya dan berkata, "Sorry, excuse me.." Dan memilih pergi meninggalkannya. Pertama, karena uang receh dan besar yang memegang istri saya yang sudah jalan di depan, alasan kedua saya takut ini menjadi lebih serius dari hanya sekedar minta "recehan", bagaimana tidak, dia memakai "smartpone" untuk mengemis ke orang asing, aneh banget,kan?
Harap maklum, GDP ("Gross domestic Product") Jepang yang mencapai puncaknya tahun 2012 di 6000-an milyar dollar mengalami penurunan dibawah 5000 milyar dollar akhir-akhir ini akibat kalah bersaingnya mereka dengan industri Tiongkok dan Korea Selatan. Jadi bukan tidak mungkin banyak pengemis baru di Jepang karena kalah berkelahi dengan waktu.
Kesimpulannya sih memang Indonesia lebih asyik untuk wisata alam dan wisata kuliner, tetapi untuk wisata diluar itu ya boleh mencarinya di Tokyo, pasti banyak yang unik. Tetapi bagaimanapun juga daripada penasaran, kita harus tetap ke Jepang,kan? Sekarang bagaimana membuat seluruh Tokyo atau kota lain di dunia masyarakatnya sama penasarannya mengunjungi Indonesia? Itulah "PR" besar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H