Salah satu kompasianer entah bercanda, entah serius berkomentar bahwa pengalaman melayani pasien saat berpuasa bukan dialami saya secara pribadi, itu pengalaman perawat yang saya wawancarai.Â
Nah, Â sebagai gambaran saya pernah mengalami berpuasa dan melayani pasien juga, itu terjadi di bulan puasa kurang lebih tiga minggu saat kuliah kerja nyata (KKN) Â di tahun 1996. Sebagai mahasiswa kedokteran yang sudah hampir lulus, tetap harus menjalani misi "pengabdian masyarakat" yang ada di tridarma perguruan tinggi saat itu.
Saya ditugaskan di sebuah desa di dekat kota Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang, sekarang, dulu masih wilayah Kabupaten Lahat. Kami satu kelompok 8 orang, terdiri dari 3 pria dan 5 wanita, kebetulan saya dan 1 teman wanita lain ada yang non muslim.
Kami yang terdiri dari berbagai fakultas beradaptasi dengan kondisi masyarakat setempat, bahkan mandi pun harus di sungai, BAB ada "WC" darurat kami buat, tetapi memang sebagai anak kedokteran itulah salah satu kesulitannya membuat penyuluhan membuat toilet dan kamar mandi yang layak, karena terbiasanya masyarakat buang air besar (BAB), mandi dan mencuci di Sungai Musi.
Untuk makan, kami ber 8 patungan serelanya, tetapi karena saya juga bawa obat dan praktek melayani pasien yang saat itu belum dilarang dengan tegas sebelum ada surat lulus dan salah satu bentuk pengabdian saya ke masyarakat selain penyuluhan. Maka kalau ada uang yang dikasih masyarakat yang datang berobatpun saya bagi ke kelompok untuk makan bersama.
Tibalah di saat bulan Ramadhan, maka saya harus ikut menyesuaikan diri dengan teman-teman lain dan masyarakat sekitar yang menunaikan ibadah puasa, disinilah yang saya sebut pengalaman "berpuasa hanya mendapatkan haus dan lapar" saja. Saya ikut saja aktifitas teman-teman yang muslim satu kelompok, terutama yang lelaki, karena kami kebetulan satu kamar.Â
Aktifitas pertama yang pasti siap-siap sahur, biasanya teman yang wanita memasak bergiliran di pukul 2.30, saya dan teman lelaki membantu siapkan piring atau minuman dan air cuci-cuci dari sumur. Pukul 3.30 an kami sahur, sesudah itu tidur (yang lelaki, saya ikut, yang wanita saya tidak tahu). Bagun tidur sudah pukul 10-an pagi, lalu mandi, kami mulai aktifitas KKN yaitu penyuluhan, mencari data, mengajar anak-anak SD atau TK menyanyi dan kalau ada yang bisa mengajar ngaji ya mengajar mengaji. Saya sebagai calon dokter biasanya ada beberapa pasien minta diobati. Itu berlangsung kurang lebih sampai pukul 12 atau 13.00, lalu pulang ke rumah pos KKN , kami tidur lagi. Bagun pukul 16 atau 17.00 biasanya kami ke lapangan voli bersosialisasi dengan pemuda desa main bola voli setengah sampai 1 jam. Disini saya tahu pemuda desa setempat saat itu banyak yang sebenarnya tidak puasa, karena merokoknya banyak.Â
Pukul 18 lewat, selesai main voli, maka waktunya berbuka, enaknya, kami sering diundang berbuka di rumah-rumah penduduk, jadi pengeluaran untuk berbuka puasa pun berkurang.
Selama hampir 1 bulan itulah saya ikut aktifitas berpuasa menahan haus dan lapar dengan pola yang relatif sama setiap harinya dan jujur saja memang banyak tidurnya daripada aktifitas yang bermanfaatnya.
Teman-teman sekelompok KKN yang muslim juga ada pengalaman menarik, mereka sholat Tarawih sering di mesjid yang di ujung desa satunya  karena "hanya" 11 rekaat, maka mesjid yang di ujung desa lain protes dan minta mereka juga bergiliran sholat tarawih disana yang sholatnya 23 rekaat. Teman-teman ini akhirnya setengah berat hati pun membuat jadwal bergilir siapa yang tarawih di mesjid ujung sana dan siapa yang tarawih di ujung sini.
Makanya, saya pernah kok mengalami berpuasa "makan dan minum" hanya mendapat sekadar "menahan haus dan lapar dan bertoleransi" dengan rekan-rekan yang muslim dan tetap mengobati pasien yang berobat sakit ringan, walau banyak adegan istirahat dan tidurnya. Tetapi saya tidak mendapat nilai ibadahnya, karena memang saya non muslim dan tidak ikut ibadah yang disarankan dan motivasi saya adalah toleransi saja.
Maka, bagi yang berpuasa di bulan Ramadhan, tidak "bolong", haus dan laparnya dapat ditahan, tetapi niat dan ibadahnya tidak dapat sesuai yang digambarkan para ulama, apa bedanya dengan yang saya alami dahulu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H