"Banyak wartawan yang tidak bisa membedakan opini orang yang diwawancara dengan fakta. Jadi, kalau dia mewawancara seorang tokoh atau selebritis, itu memang kejadian sebenarnya, tetapi apakah yang disampaikan si narasumber adalah fakta, opini atau hayalannya, itu harus dibuktikan, dikonfirmasi lagi." Demikian penjelasan Kang Maman Suherman yang sekarang dijuluki notulen nomor 1 di Indonesia. Siapa nomor 2,nya? Yang pasti bukan Saya.
"Berarti kalau ada yang salah kutip di media, ikut-ikutan disebarkan di "Twit" dan media sosial lain, itu harusnya ikutan salah?"Tanya Saya.
"Benar, itu tidak boleh "ngeles" bilang, saya cuma ikut-ikutan memberitahukan yang ada di media resmi,kok. Harusnya di "crosscheck" dahulu dan kalau salah, dia juga salah."Jawab si Kriminolog yang sudah bertransformasi menjadi penulis novel, perancang acara televisi, konsultan politik, konsultasi peramalan ini-itu dan yang pasti moderator serta notulen diskusi laris di Indonesia.Â
Beliau ke Palembang, juga menyisihkan 1-2 hari untuk kegiatan "sosialnya" di penyebaran virus literasi, karena kebodohan di negeri ini akibat kurangnya membaca dan itu sepertinya "dipelihara" oleh sekelompok orang tertentu yang ingin masyarakat kebanyakan tetap "buta informasi" dan tetap mudah dibohongi. Satu lagi beliau paling alergi "Hoax".Â
"Hoax itu berita bohong yang dibuat orang pintar yang jahat dan disebarkan oleh orang baik yang bodoh."Begitu kurang lebih pernyataannya, karena orang bodoh tidak cukup pintar membuat "Hoax".
Pisangnya Kaesang ngantrinya lama, bisa 1 jam dan dibatasi sehari hanya bisa buat 500 porsi. Yang bikin pusing kita ngantrinya bersaing dengan  "go f**d". Entah berapa lama makanan ini bertahan, karena setahu Saya orang Palembang makanan "snack" pokoknya pempek, bukan pisang goreng.Â
"Saya Minggu siang jam 12-an berfoto bareng Kaesang disini, saya kirim ke "twit" dibilang "kecebong". Dua jam kemudian, datang teman saya calon kepala daerah yang diusung Partai G dan P, foto bareng lagi dan saya "twit" lagi, eh kok tidak ada yang jelek-jelekin. Malamnya, disini juga saya berfoto bareng Mongol, "stand up Commedy" yang kadernya partai N, gak ada juga yang ribut. Begitulah kira-kira. Saya tidak fanatik partainya, saya melihat orangnya. kalau baik, saya bisa jadi teman baik."Katanya.
Itu menjawab pertanyaan Saya kenapa kang Maman belum terjun ke dunia politik, dia mengaku takut tidak bisa amanah dan malah jadi merusak. Banyak temannya yang dahulu bagus pemikirannya, sesudah terjun ke politik praktis menjadi tidak bebas lagi dan berubah, berubah bagaimana, yang harus mengikuti kesepakatan politik di partainya atau di kelompok lainnya.
Kompasianer Palembang beruntung ada sesi ronde kedua ngobrol dengan kang Maman Suherman, karena beliau juga Kompasianer dan juga kerja di penerbitan Kompas dahulunya dan "whasap"-nya pribadi diberikan ke kelompok Kompal buat silahturahmi, kapan-kapan mau ada acara literasi di Palembang lagi, mungkin kami-kami akan dihubungi untuk mengatur acara, disamping kelompok literasi lainnya.
Saya pribadi sangat suka "moment" informal seperti ini, dimana dialog tidak dibatasi dan kita bisa menyerap pandangan hidup seseorang penulis yang sudah tahap "mengabdi" dengan literasi. Dia sudah makan disana dan dia mau menyebarkan pengalamannya dapat semuanya itu kepada semua orang yang mau menggerakkan Indonesia dari kebodohan literasi nomor dua di dunia, untuk menuju ke 10 besar dunia.
Mungkin kalau mau "moment" seperti ini terjadi juga di kotamu, ajukan saja konsep penularan virus literasi di kota anda dan kirim surat ke kang Maman, dia mungkin akan mempertimbangkan membawa sumbangan buku dan membuat acara disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H